Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membiasakan Diri atau Mendirikan Kebiasaan, Apa Salah Tuak?

16 November 2020   06:23 Diperbarui: 16 November 2020   07:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menampung air nira, bahan membuat tuak (Dokpri)

Lagipula, pembagian peran ini, sebagai kalimbubu dan anak beru sering kali bergantian, disebabkan hubungan keluarga sanak saudara antar pihak (entah dari pihak orang tua, anak, menantu, cucu) tak jarang memiliki keterkaitan sehubungan dengan perkawinan. Siapa mempersunting siapa.

Jadi, hari ini memulikan, besok bisa jadi dimuliakan. Hari ini menerima, besok bisa jadi memberi. Bukankah hukum yang pertama dan terutama sebagaimana dalam salah satu kitab suci mengatakan, "Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu", dan hukum yang kedua yang sama pentingnya dengan itu adalah "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"?

 Potret Keseharian di sebuah Desa dalam kilasan Tuak

Saya mencoba melihat sekilas potret keseharian di sebuah desa, yang menyingung sekilas tentang tuak. Ia bukan suku Karo.

Adalah seorang tokoh wanita inspiratif asal Sulawesi Selatan, tepatnya Tana Toraja, yang telah mengikuti pembinaan di Cipanas untuk menjadi seorang motivator atau fasilitator desa yang diwadahi oleh departemen pemberdayaan masyarakat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Ia mungkin bisa juga dikatakan sebagai seorang kader pemberdayaan masyarakat desa.

Ruth Tandi Ramba foto bersama salah seorang peserta Toraja Youth Camp 2018 (Tangyar FB)
Ruth Tandi Ramba foto bersama salah seorang peserta Toraja Youth Camp 2018 (Tangyar FB)
Namanya adalah Ruth Tandi Ramba. Pada tahun 1980-an, usai menamatkan pembinaan kader pemberdayaan, ia ditempatkan di sebuah desa terpencil di Sumatera Utara, jauh dari kampung halamannya.

Namun, ibu Ruth, tampaknya sebagaimana anjuran teori antropologi dari Bronislaw Malinowsky (salah seorang pencetus mula-mula metode antropologi partisipatif), menyadari bahwa cara terbaik untuk dapat cepat memahami, serta cepat dapat diterima sebagai orang asing di sebuah komunitas dan lingkungan baru, adalah dengan hidup membaur di tengah-tengah mereka dan terlibat langsung bersama-sama dengannya.

Demikianlah Ruth Tandai Ramba selama bertahun-tahun hidup di antara dan bersama-sama dengan warga desa itu. Ciri umum warga desa itu adalah sebagai masyarakat petani.

Para suami umumnya terlihat sangat betah duduk berlama-lama di kedai kopi, juga di lapau tuak, sementara para istri sudah sangat sibuk bekerja sejak pagi hari. Para istri, harus sudah lebih dahulu bangun dibandingkan seluruh anggota keluarga.

Para istri di desa umumnya, harus menyiapkan keperluan makan pagi bagi anggota keluarga, memberi makan ternak peliharaan mereka yang ada di belakang rumah, mencuci piring, mencuci kain kotor, menyapu rumah, dan menyapu halaman.

Setelah itu semua, jangan kira mereka bisa beristirihat. Para istri masih akan menjadi yang lebih dahulu berangkat membajak sawah, atau mengarit rumput, atau mencangkul di ladang, dibandingkan para suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun