Seorang lagi, kerabat saya yang menawarkan tuak pada siang menjelang sore itu. Ia biasanya mendapatkan jatah tugas menanak nasi di dandang besar untuk disantap hingga ratusan orang setiap kali kami menjadi anak beru pada suatu acara atau pesata adat.
Panas api dari tungku besar yang memanasi dandang  besar itu, takpelak lagi membuat keringatnya mengucur deras. Namun, anehnya setiap kali aku menawarkan apa minuman yang dia mau, dia hanya minta satu hal saja, tuak.
Katanya, tuak itu bisa mengimbangi kehilangan cairan tubuh akibat cucuran keringat yang hebat oleh karena panas tungku yang membara itu. Mungkin yang dimaksudnya, kurang lebih seperti minuman isotonik pengganti ion tubuh itu.
Dari sana saya belajar, bahwa tidak ada yang salah dengan tuak. Mana kala para suami betah berlama-lama duduk-duduk di kedai kopi atau lapau tuak, sementara istrinya sudah lelah bekerja di sawah atau ladang sejak pagi, itu bukan salah tuak.
Saya yang salah menyajikan hidangan makan malam karena sempoyongan akibat mabuk tuak, itu bukan salah tuak. Atau, pernah ada kabar bahwa beberapa orang meninggal dunia diduga akibat menenggak tuak oplosan, itu pun bukan salah tuak.
Ini hanya soal hubungan antara membiasakan diri atau mendirikan kebiasaan. Pilihannya tetap ada pada manusianya.
Pemalas yang malas bekerja, bukan dikarenakan tuak. Begitupun orang bisa menjadi tidak cermat atau tidak sadar diri, bukan semata karena tuak. Sama halnya dengan pengoplos culas, demi mengejar keuntungan diri sendiri, dia hanya menyalahgunakan tuak.
Tidak kurang banyak hal lain yang juga bisa disalahgunakan, dan karenanya akan sangat banyak hal yang perlu dilarang dalam hidup ini. Adakah yang bisa menjamin keadaan menjadi lebih baik, dengan melarang tuak?
Saya sendiri memilih menahan diri untuk membiasakan tidak meminum tuak. Sebab bagi saya rasa tuak kalah enak dibandingkan dengan segelas susu, kopi, kopi susu, atau segelas coklat hangat. Jadi, adalah kurang tepat menurut saya melarang orang menjual atau meminum tuak.
Lagi-lagi, patut dicermati bahwa konsep kebutuhan, baik bagi individu maupun komunitas dalam suatu sistem sosial budaya, layak dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap.Â
Menurut batasan tertentu, hal yang tidak disukai dan tidak dibutuhkan oleh seseorang, bisa saja merupakan kesukaan dan kebutuhan bagi yang lain.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!