Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkaji Tiadanya Frasa "Terima Kasih" dalam Suku Dayak Desa

5 November 2020   12:00 Diperbarui: 29 April 2021   21:04 4195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DokpriSuasana bekumus ketika penulis datang di Paroki Ambalau tahun 2014

Dalam suku Dayak Desa sendiri, untuk mengucapkan terima kasih kami akan mengatakan: "Makaseh, bah". Ungkapan versi Dayak Desa ini hampir mirip dengan ungkapan yang terdapat dalam suku Dayak Kayan Ma'apan. Mereka mengatakan: "Makasih, boh" (Informasi didapat dari Rm. Bobby atau Ruang Berbagi).

Dalam sebuah grup WA, yang anggotanya berasal dari berbagai daerah, saya bertanya bagaimana terima kasih diucapkan dalam bahasa daerah mereka masing-masing. Begini  ragam bentuk ucapan terima kasih itu:

  • Manggarai : Tiba Teing
  • Sunda : Hatur Nuhun
  • Karo : Bujur Melala
  • Kerinci : Mokasih
  • Mandarin : Xie Xie Ni
  • Madura : Mator Sekalangkong
  • Batak : Mauliate
  • Jawa : Matur Suwun; Matur Sembah Nuwun (untuk Tuhan dan orang yang dihormati)

                                       (Mohon maaf jika ada yang salah dalam penulisannya)

Jujur, saya menjadi iri melihat ada kata khusus dalam bahasa daerah teman-teman untuk mengucapkan "terima kasih". Saya menjadi berpikir, mungkin ketiadaan frasa atau kata "terima kasih" dalam bahasa Dayak inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa ada beberapa orang yang beranggapan kalau orang Dayak itu kasar.

Sebuah Pengalaman

Saya sendiri tentu tidak menyalahkan bila ada orang yang berpikiran demikian. Karena secara logika sudah tepat adanya. Tiadanya frasa atau kata khusus dalam bahasa Dayak, maka sudah dengan sendirinya orang Dayak mengalami kebingungan bagaimana harus berterima kasih.

Namun, saya juga mau mengatakan kalau stigma di atas tidak sepenuhnya benar. Berangkat dari pengalaman, saya sampai pada simpulan bahwa ungkapan kasih sayang itu berbeda-beda di setiap tempat. Namun, ungkapan itu sangat istimewa.

Mempelajari konteks sosial suatu daerah, dengan demikian, kiranya menjadi sangat penting sebelum memberikan penilaian. Pengalaman saya selama dua tahun (2014-2016) bertugas di Paroki Ambalau, Keuskupan Sintang, mungkin bisa menjadi gambaran kalau keramahan, ungkapan kasih sayang di suatu tempat itu memang unik, tapi tulus adanya.

Paroki Ambalau mayoritas umatnya ialah suku Uud Danum. Dalam suku ini, ada satu tradisi yang unik untuk menyambut setiap tamu yang datang berkunjung ke daerah mereka. Bekumus, itulah nama tradisi tersebut.

Bekumus adalah tindakan saling mengotori dengan menggunakan media utama, yakni bedak. Bedak memang menjadi bahan utama untuk bekumus. Namun, kadang ada juga yang jahil dengan menggunakan arang atau lumpur.

Silakan Anda perhatikan gambar di bawah ini. Betapa kotornya kami setelah bekumus. Namun lihatlah, kami semua diliputi oleh suka cita.

DokpriSuasana bekumus ketika penulis datang di Paroki Ambalau tahun 2014
DokpriSuasana bekumus ketika penulis datang di Paroki Ambalau tahun 2014
Apakah pantas memperlakukan orang yang baru datang dengan cara yang demikian? Tidak adakah cara yang lebih indah dan bermartabat agar saya, dalam hal ini, nanti bisa betah menjalani masa-masa tugas karena sedari awal sudah diterima dan disambut dengan santun dan layak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun