Sebuah frasa sederhana yang hampir setiap hari mewarnai keseharian hidup kita. Kita tak perlu jauh-jauh mencari contohnya.
Coba saja cek kolom komentar di setiap artikel yang kita tayangkan di Kompasiana ini. Saya yakin sudah tak terhitung banyaknya ucapan terima kasih yang kita sampaikan kepada rekan K-ners lain yang sudah berkenan membaca dan meninggalkan komentar pada artikel kita.
Mengingat pentingnya mengucapkan terima kasih, sebagai orang tua, kita pun selalu mengajarkan dan mengingatkan putra-putri kita untuk selalu berterima kasih bila menerima sesuatu dari orang lain.
Kalau hendak pergi tidur kita tak pernah lupa berdoa. Berterima kasih kepada Tuhan Yang Mahaesa atas hari yang telah berlalu dan atas berkat penyertaan yang telah Dia berikan.
Begitu pun saat bangun. Kita kembali berterima kasih kepada Tuhan atas perlindungan-Nya selama kita beristirahat.
Sekarang persoalannya, bagaimana bila dalam suatu daerah tidak ada frasa atau kata khusus untuk menyampaikan rasa terima kasih? Â
Fakta dalam Suku Dayak Desa
Fakta ini dijumpai dalam Suku Dayak Desa. Bahkan mungkin dijumpai dalam semua sub suku Dayak yang ada di Kalimantan.
Sesungguhnya bukan tidak ada. Hanya saja, dalam hemat saya, frasa atau kata yang digunakan masih mirip-mirip bahasa Indonesia. Coba perhatikan ungkapan terima kasih pada beberapa suku Dayak yang saya lansir dari laman ayobandung.com berikut ini:
- Dayak Maanyan : Tarima Kasih
- Dayak Randuk : Makaseh
- Dayak Ngaju : Tarima Kasih
- Dayak Kenyah : Tarima Kasih
Dalam suku Dayak Desa sendiri, untuk mengucapkan terima kasih kami akan mengatakan: "Makaseh, bah". Ungkapan versi Dayak Desa ini hampir mirip dengan ungkapan yang terdapat dalam suku Dayak Kayan Ma'apan. Mereka mengatakan: "Makasih, boh" (Informasi didapat dari Rm. Bobby atau Ruang Berbagi).
Dalam sebuah grup WA, yang anggotanya berasal dari berbagai daerah, saya bertanya bagaimana terima kasih diucapkan dalam bahasa daerah mereka masing-masing. Begini  ragam bentuk ucapan terima kasih itu:
- Manggarai : Tiba Teing
- Sunda : Hatur Nuhun
- Karo : Bujur Melala
- Kerinci : Mokasih
- Mandarin : Xie Xie Ni
- Madura : Mator Sekalangkong
- Batak : Mauliate
- Jawa : Matur Suwun; Matur Sembah Nuwun (untuk Tuhan dan orang yang dihormati)
                    (Mohon maaf jika ada yang salah dalam penulisannya)
Jujur, saya menjadi iri melihat ada kata khusus dalam bahasa daerah teman-teman untuk mengucapkan "terima kasih". Saya menjadi berpikir, mungkin ketiadaan frasa atau kata "terima kasih" dalam bahasa Dayak inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa ada beberapa orang yang beranggapan kalau orang Dayak itu kasar.
Sebuah Pengalaman
Saya sendiri tentu tidak menyalahkan bila ada orang yang berpikiran demikian. Karena secara logika sudah tepat adanya. Tiadanya frasa atau kata khusus dalam bahasa Dayak, maka sudah dengan sendirinya orang Dayak mengalami kebingungan bagaimana harus berterima kasih.
Namun, saya juga mau mengatakan kalau stigma di atas tidak sepenuhnya benar. Berangkat dari pengalaman, saya sampai pada simpulan bahwa ungkapan kasih sayang itu berbeda-beda di setiap tempat. Namun, ungkapan itu sangat istimewa.
Mempelajari konteks sosial suatu daerah, dengan demikian, kiranya menjadi sangat penting sebelum memberikan penilaian. Pengalaman saya selama dua tahun (2014-2016) bertugas di Paroki Ambalau, Keuskupan Sintang, mungkin bisa menjadi gambaran kalau keramahan, ungkapan kasih sayang di suatu tempat itu memang unik, tapi tulus adanya.
Paroki Ambalau mayoritas umatnya ialah suku Uud Danum. Dalam suku ini, ada satu tradisi yang unik untuk menyambut setiap tamu yang datang berkunjung ke daerah mereka. Bekumus, itulah nama tradisi tersebut.
Bekumus adalah tindakan saling mengotori dengan menggunakan media utama, yakni bedak. Bedak memang menjadi bahan utama untuk bekumus. Namun, kadang ada juga yang jahil dengan menggunakan arang atau lumpur.
Silakan Anda perhatikan gambar di bawah ini. Betapa kotornya kami setelah bekumus. Namun lihatlah, kami semua diliputi oleh suka cita.
Saya pribadi sama sekali tidak merasa sakit hati atau tersinggung diperlakukan demikian. Karena saya yakin, dengan berbuat demikian, mereka sama sekali tidak bermaksud merendahkan atau mempermalukan saya.
Justru itulah ungkapan penerimaan yang paling dalam dan tulus dari umat. Hasilnya, saya bisa menjalani masa-masa tugas selama dua tahun di Paroki ini dengan penuh suka cita.
Mungkin ada juga yang berpandangan kalau umat di tempat ini tidak tahu berterima kasih. Sudah baik-baik diberi seorang pastor untuk melayani mereka malah disambut dengan cara yang demikian.
Saya hanya mau mengatakan, meski saudara-saudariku sesama orang Dayak masih banyak yang tinggal di pedalaman. Bahkan beberapa masih ada yang tinggal di dalam hutan. Jauh dari bising kota.
Namun saya yakin, mereka adalah manusia yang punya hati dan perasaan. Tahu menghormati orang lain. Hanya saja semua itu mereka ungkapkan dengan indah seturut cara mereka masing-masing.
Pengaruh Hidup Bersama di Rumah Panjang
Tiadanya frasa atau kata "terima kasih" dalam bahasa Dayak, sekali lagi, tentu saja tidak berarti orang-orang Dayak itu tidak tahu berterima kasih. Fakta ini sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh cara hidup mereka ketika dulu masih hidup di Rumah Panjang (Rumah Betang). Rumah Panjang biasa dihuni oleh 5-30 kepala keluarga.
Suasana yang sangat terasa dan kentara dari kehidupan di Rumah Panjang ialah tingginya semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Dalam semangat ini, segala pekerjaan hampir selalu dilaksanakan secara gotong royong. Setiap warga akan selalu siap sedia membantu sesamanya tanpa mengharapkan imbalan atau upah.
Kalau memang satu sama lain selalu bersedia membantu, lantas mengapa begitu sulit mengucapkan "makaseh, bah"? Mereka mengucapkan terima kasih bukan dengan perkataan, melainkan dengan perbuatan.
Dalam aktivitas beduruk (gotong royong kerja di ladang) dalam suku Dayak Desa, misalnya. Ketika selesai bekerja di ladang para anggota tidak akan saling mengucapkan terima kasih.
Terima kasih itu akan mereka ungkapkan dengan bekerja secara total dan penuh tanggung jawab saat bekerja di ladang anggota yang lain.
Begitu juga dalam tradisi saling bertandang (berandau) dalam komunitas adat Dayak Desa. Orang yang bertamu akan disambut dengan ramah. Bahkan tak jarang tamunya ditawari untuk makan.
Ketika sudah saatnya untuk pulang, alih-alih mengucapkan terima kasih, si tamu akan mengatakan: "Kak mupuk lau, bah". Kurang lebih artinya: "Mau pulang dulu, ya".
Tuan rumah sama sekali tidak merasa sakit sakit hati atau tersinggung. Malahan dia akan mengatakan: "Wai...ilak lau, bah. Ngapa begesak?" Artinya kurang lebih begini: "Wai...nanti dululah pulangnya. Kenapa terburu-buru?"
Dan kalau tamu sudah mulai beranjak pergi, tuan rumah akan berkata: "Mansang berandau agik, bah. Nsah jerak." Artinya: "Lain kali datang lagi, ya. Jangan jera."
Saling bertandang (berandau) memang sudah menjadi kebiasaan orang Dayak Desa. Tiadanya ungkapan terima kasih dari tamu meski sudah diberi makan, bukan menjadi masalah besar bagi mereka.
Tidak ada rasa menyesal dan sakit hati. Jalinan kekeluargaan dan persaudaraan mereka pun tidak akan menjadi rusak. Justru tuan merasa senang karena sahabat atau sanak keluarga mau bertandang ke rumah mereka. Bahkan meminta agar mereka bisa datang kembali di lain waktu.
Ketika tuan rumah menawarkan tamu untuk makan, tindakan ini pun bukan sekadar basa-basi. Bagi masyarakat suku Dayak Desa, hasil bumi yang mereka peroleh tidak pernah boleh hanya dinikmati seorang diri.
Undangan untuk menyantap hidangan yang telah tersedia merupakan ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima. Sekaligus sebagai wujud doa bersama agar Petara Yang Agung senantiasa melimpahkan hasil ladang yang baik dan berlimpah.
Wasana KataÂ
Ungkapan terima kasih memang hampir jarang terdengar dalam keseharian hidup orang Dayak Desa. Akan tetapi, fakta ini sedikit pun tidak mengurangi semangat kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaran di antara mereka.
Walaupun demikian, fakta ini tetap menjadi perhatian, khususnya bagi para orang tua, untuk selalu mengajarkan dan mengingatkan anak-anak agar tahu berterima kasih. Fakta ini tidak bisa selalu dijadikan pembenaran ketika anak-anak lupa atau bahkan tidak pernah sama sekali berterima kasih.
Dunia ini dihuni oleh manusia dari beragam suku dan budaya. Akan ada saat di mana mereka harus merantau untuk belajar, bekerja, dll. Untuk itu, mereka harus dididik serta diingatkan, bahwa "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
Hidup bersama orang Dayak memang akan jarang terdengar kata terima kasih. Fakta ini tidak kemudian menyurutkan niat kita untuk terus berbuat kebaikan. Perbuatan baik kita pasti suatu saat akan mendapat ganjarannya dalam cara dan bentuk yang lain. Saya sudah seringkali mengalaminya.
Ditulis oleh Fransiskus Gregorius Nyaming untuk Inspirasiana (Ed: TT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H