Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengatasi Rasa Takut pada Hantu Masa Lalu dan Masa Depan

24 Oktober 2020   08:28 Diperbarui: 24 Oktober 2020   09:50 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengatasi Rasa Takut Pada Hantu Masa Lalu dan Masa Depan

Hai, Sobat.

Aku menulis surat kecil ini untukmu. Bukan agar kau merasa kasihan padaku atas segala yang terjadi. Tapi, aku hanya ingin berbagi. Itu saja.

Perjalanan hidup ini sulit untuk ditebak, ya. Terkadang yang kita butuhkan hanyalah nyali untuk menjalaninya. Tak perlu sejuta ekspektasi yang mungkin pernah menggantung dalam pikiran, seakan memberi ruang bagi harapan-harapan semakin subur bertumbuh.

Seperti surat kecil yang kutulis buat kalian ini, Sobatku. Aku pun tidak pernah menyangka akan menuliskannya di sini. Selama ini rasa minder mencengkeram, seakan aku adalah jiwa terendah di muka bumi ini.

Aku pernah punya sebuah cinta. Kepada dia yang kukira adalah pribadi terelok dalam hidupku. Awal menjalin hubungan cinta dengannya adalah hal terindah bagiku.

Aku merasa, hanya dialah yang kupunya. Aku mengira, tidak ada seorang pun yang menginginkanku di dunia ini selain dia. Aku pikir, aku tak dapat hidup dengannya. Hanya dia, Dan hanya bersamanya. 

Bukankah itu cinta, Sobat? Kupikir begitu.

Aku mencintainya dengan seluruh kepasrahanku. Meski setiap kali ia menderaku dengan cacian, makian, dan terkadang tamparan serta pukulan. Itu, hanya karena aku ingin bersamanya.

Ingin bersamanya? Ya. Apakah itu permintaan sulit? Ataukah memang aku adalah seorang yang posesif, seperti katanya dulu padaku. Mungkin itu yang membuatnya selalu marah padaku. 

Entahlah aku tak pernah mengerti apa mauku. Seringkali aku menekan rasa marah, rasa kecewaku, dan rasa jengkelku padanya. Sehingga, aku tidak mengenali lagi siapa aku. 

Kadang aku merasa seperti gila. Seringkali ia bertindak curang padaku. Jarang kami meluangkan waktu bersama, meski hanya untuk menikmati sore berdua. Seperti mereka dengan pasangannya. Ya, sudahlah aku pikir, itu hanya sifat kekanakanku saja. 

Pernah satu kali beberapa teman berusaha menjauhkanku darinya. Mereka bilang, aku berubah menjadi berbeda. Aku menjadi lebih suka menyendiri, menjauh dari teman-teman, aku lebih murung, serta....beberapa luka yang coba kusembunyikan dari mereka. Ya, aku tahu ini sakit. Tapi, aku tak bisa. Situasi ini sangat sulit bagiku. Menurutku, ia adalah cintaku. Ia adalah orang yang baik. 

Ia memintaku untuk kembali lagi, kala aku ingin menjauh darinya. Ia berjanji bahwa kami akan menjalani sisa waktu kami bersama.

Oke. Aku memberinya kesempatan lagi. Aku kembali bersamanya, meski teman-temanku begitu keras melarangku. Hingga aku harus mengambil keputusan untuk tidak lagi memedulikan saran teman-temanku. 

Aku menjalani hubunganku lagi dengannya. Awal yang begitu indah. Ya, dia telah berubah, ia begitu manis. Sikapnya begitu lembut. Meski demikian, keluargaku tetap saja tidak menyepakati hubungan kami. Namun, kepercayaanku padanya makin bertambah saat sebulan setelahnya, ia betul-betul tidak berlaku kasar lagi.

Hingga semua menjadi seperti semula. Semakin lama, ia jarang menghubungiku. Kami kembali jarang bertemu. Kupikir, mungkin ia sibuk. Aku berusaha menghubunginya. Tapi ia selalu mengelak untuk sebuah pertemuan. 

Semakin lama, kekasarannya semakin bertambah. Ia bertindak keras padaku. Menamparku, bahkan menyakiti hatiku dengan bully-annya. 

Sebersit tanya dalam diriku, inikah cinta? Inikah asmara yang mereka perbincangkan dan banggakan selama ini? Ataukah ini sebuah neraka yang hadir dalam hidupku? 

Tidak, Sobat. Ini bukan cinta. Ini racun yang mengikatku kuat. Bak piton yang melilit dan meremukkan tulangku. Aku mengerang dalam kesendirianku.

Hingga akhirnya, kasih teman-temanku datang. Kasih mereka lebih kuat dari racun ini. Mereka kembali menjemputku; tangan-tangan surga itu kembali merengkuhku; memelukku; mengembalikanku pada keluargaku. 

Dijauhkannya aku darinya yang sekian lama menipuku dengan ilusi. Aku aman. Sekarang, aku aman.

Mungkin berpisah darinya adalah hal yang sulit. Sangat sulit. Begitu sulit. 

Tapi, untuk satu kata, WARAS, aku mulai membuang semua barang-barang yang memantik kenanganku bersamanya, memblokir semua akses yang dapat menghubungkanku dengannya, kembali membuka diriku untuk keluargaku, Ayah ibuku, saudaraku, dan teman-temanku.

Menjalin kembali relasi bersama teman yang lama tak kusapa, meluangkan waktu untuk beraktivitas  bersama orang-orang di dekatku, dan mengembalikan kembali tenagaku yang telah terkuras saat bersamanya. 

****

Pernahkah kita mendapati situasi seperti Sobat kita di atas? Keluar dari hubungan toksik memang tidak mudah. 

Mungkin, barang-barang yang membawa kenangan tersebut sudah kita musnahkan. Mungkin, semua akses yang menghubungkan kita dengan orang yang menyakiti kita telah kita tutup. 

Namun, satu hal yang tidak dapat kita pungkiri, adalah bilamana pikiran-pikiran yang seharusnya bukanlah hal yang penting lagi, kini hadir menghiasi batin kita. 

Mengatasi perasaan sedih karena "kehilangan", ketakutan untuk menjalin hubungan baru, takut bilamana peristiwa tidak mengenakkan akan terulang, mengatasi semuanya itu tidaklah semudah kita membuang barang-barang kenangan mantan.

Pikiran datang tanpa dapat kita kendalikan. Datang dengan tiba-tiba. Tidak dapat kita tolak  atau menghindari. Semakin keras kita menolaknya, maka ia akan semakin mendera. Semua layaknya hukum aksi reaksi.

Sadarilah keberadaannya. Terimalah dengan segala ikhlas. Tidak perlu terburu mencoba mencari makna kehadirannya dalam diri kita. Terima saja. Toh, ia tidak akan tinggal selamanya dalam diri kita. Tidak seterusnya ia akan menetap. 

Perasaan dan pikiran akan pergi. Ia punya waktu untuk sejenak berkunjung dalam batin kita. Seperti tamu yang singgah, ia akan pergi saat kita melepasnya. Kenali saja ia. Oh, ini sedih; oh ini senang; oh, ini marah; oh, ini kecewa.

Terkadang pikiran dari masa lalu menjadi hantu yang memburu, menjadikan kita hanya diam membeku. Seperti lumpuh, tidak dapat memberi diri kesempatan untuk melangkah maju, hanya bertikai dengan penyesalan yang tiada henti.

Jangan mengira pikiran masa depan tak dapat menjadi pemicu bagi kita untuk selalu merasa ingin mengejar lebih, lebih, dan lebih lagi. Tiada pernah rasa puas itu hadir. Cukup, bukan lagi menjadi sebuah keindahan batin.

Dapatkah kita menyimpan kebahagiaan untuk esok hari? Mampukah kita mengambil kebahagiaan dari masa lalu? Tidak, bukan? Kebahagiaan itu ada saat ini. Untuk saat ini. Bersyukur, untuk kebahagiaan ini.

Sebagaimana penderitaan, maka cukuplah kebahagiaan untuk hari ini. Esok punya kebahagiaannya sendiri.

Bila kita merasa sendiri, dan hantu masa lalu mendatangi, cobalah sadari. Tariklah satu nafas, beri jeda, hembuskan lagi, beri jeda, lalu ambil nafas lagi.

Kita pun bisa mencoba butterfly hug. Letakkan tangan kanan ke pundak kiri, Dan tangan kiri ke pundak kanan. Sembari berlatih siklus napas, tepukkan jemari di atas pundak kita.

Sobat, apakah saat ini kau baru berada di situasi yang sama dengan cerita di atas? Bangkitlah, Kawan. Kau tidak sendirian. Masih ada jalan keluar. Masih ada jalan terbuka untukmu. Masih ada harapan bagi kita. Percayalah.

*Artikel ini ditulis untuk Inspirasiana, written by @lintang 

(ed. K71) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun