Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini 4 Keunikan Rires, Lemang dalam Balutan Sejarah dan Budaya Karo

21 Oktober 2020   08:00 Diperbarui: 21 Oktober 2020   08:08 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamparan padi sawah di Desa Serdang, dengan latar belakang gugusan bukit TN. Bukit Barisan di sebelah Timur

Sejarah menunjukkan bahwa budaya, bahasa, keyakinan dan agama bangsa-bangsa seringkali tersebar di berbagai tempat. Baik karena sukarela akibat hubungan dagang, diplomasi antar bangsa, maupun karena pemaksaan akibat perang, bencana dan lain sebagainya.

Maka tidak heran, kita menemukan berbagai kemiripan dalam corak budaya, bahasa, maupun keyakinan dan agama bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia.

Termasuk soal makanan. Kali ini kita akan melihat bagian cuplikan akulturasi berbagai hal dalam balutan kuliner, bernama "Rires". Ini adalah salah satu makanan tradisional suku Karo.

Rires, lebih dikenal secara nasional dengan nama "lemang". Itu adalah sejenis penganan dari beras pulut (ketan) yang dicampur dengan santan, kunyit, garam dan lada yang dihaluskan. Dikemas dalam balutan daun pisang, kemudian dimasukkan ke dalam potongan ruas bambu untuk dipanggang dengan kayu bakar.

Dalam tradisi suku Karo, yang dominan berdomisili di Sumatera Utara, "Rires" dibuat dan disajikan sebagai makanan pada acara pesta syukuran setelah panen padi. Pesta rakyat ini dikenal dengan nama "Kerja Tahun".

Bila di suatu desa di Kabupaten Karo dilakukan pesta kerja tahun, yang waktunya berbeda-beda mengikuti waktu panen padi di setiap desa, maka warga desa yang merayakannya umumnya akan memasak rires dan penganan lainnya. Memang ada juga desa yang tidak memasak rires pada pesta kerja tahun.

Ada yang unik dan menarik, terkait hubungan sejarah dan budaya Karo dalam tradisi memasak lemang atau rires ini. Mari kita lihat satu persatu.

1. Asal kata Rires

Tidak ditemukan secara jelas asal kata rires dari penuturan orang-orang tua di desa, yang sudah turun-temurun memasak rires. Namun, tahukah Anda? Kita akan menemukan fakta menarik bila menelusuri asal kata "rires".

Dilansir dari wiktionary.org, secara etimologi, "rires" adalah kata benda (jamak), yang dalam bentuk tunggalnya adalah "rire" (Middle French), "rire" (Old French), "ridere" (Latin), artinya tawa. Dalam kelas kata kerja, "rideo" (Latin), atau "rire" (Prancis), berarti tertawa.

Sementara itu, dilansir dari www.definitions.net, secara numerologi, nilai numerik untuk "rires" menurut numerologi Chaldean adalah 4. Sedangkan, menurut numerologi Pythagorean, nilai numerik "rires" adalah 6.

Dalam budaya Karo, kedua angka ini juga memiliki nilai simbolis. Angka 4 (empat) berarti selpat (putus, dalam bahasa Indonesia). Maksudnya adalah, doa harapan untuk memutus (menangkal) semua pikiran jahat, maupun maksud buruk dari pihak lain bagi orang yang didoakan.

Sementara itu, angka 6 (enam), berarti gelem atau enam (bahasa Karo). Maksudnya adalah, menggenggam atau meng-iya-kan (mengaminkan) doa harapan atas segala hal yang baik bagi pihak yang didoakan.

Hmmm..., apabila kedua sudut pandang itu dihubungkan, etimologi dan numerologi, terkait asal kata "rires", tentu akan terasa sangat menyenangkan menyantapnya. Menyantap makanan yang telah didoakan dengan segala harapan baik, dalam suasana kekeluargaan penuh gelak tawa, setelah panen padi.

2. Beras yang digunakan

Ada satu jenis beras pulut (ketan) khas sebagai bahan baku rires, yang tumbuh secara endemik pada satu desa di Kabupaten Karo, bernama Page Si Galia. Page berarti beras dalam bahasa Indonesia.

Ada juga orang yang menyebutnya sebagai "Si gedang janggut", bila diterjemahkan berarti "Si panjang jenggot". Barangkali karena tangkai bulirnya yang panjang-panjang dengan bulir padi yang lebat, menyerupai jenggot.

"Page Si Galia" merupakan varietas padi yang hanya tumbuh baik di Desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo. Rires atau lemang dari page si Galia ini, nantinya dapat dinikmati dengan gula aren yang dilelehkan, disebut "tengguli", ini dalam versi manisnya. Atau bisa juga dinikmati hangat-hangat bersama lauk-pauk, ini dalam versi asinnya.

Rires (lemang) dinikmati dengan gula aren (Dokpri)
Rires (lemang) dinikmati dengan gula aren (Dokpri)
Tidak ada catatan khusus yang saya temukan tentang asal kata "Galia" pada beras endemis desa Serdang ini. Namun, ada satu catatan yang menarik tentang Galia yang saya temukan dari sebuah novel berjudul "Selene", karya Michelle Moran.

Gallia (dengan dua l), adalah sebuah suku bangsa di Asia Kecil, yang pada zaman imperialisme Romawi ditaklukkan oleh Kaisar Oktavianus Augustus. Pada masa itu, orang-orang Gallia yang ditaklukkan, diangkut dari kampung halamannya ke Roma sebagai budak dan tawanan.

Cita rasa dari lemang berbahan baku page si Galia ini sudah menjadi trade mark atau hak paten (sejauh yang saya tahu sampai saat ini belum tertulis), dimiliki oleh padi yang hanya tumbuh baik di desa Serdang ini. Sebagian besar masyarakat Karo penikmat dan pemerhati lemang di Tanah Karo umumnya, sudah mengetahui dan mengakui hal itu.

3. Perihal desa Serdang, Tempat Tumbuh "Page Si Galia"

Desa Serdang adalah sebuah desa di Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Menelusuri "Serdang" sebagai entitas wilayah, maka kita akan segera dihubungkan dengan suku Melayu, serta sejarah Kesultanan Deli dan tentu saja Kesultanan Serdang.

Kesultanan Serdang berdiri pada tahun 1723, dan bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1946. Kesultanan Serdang berpisah dari Kesultanan Deli setelah sengketa takhta kerajaan.

Ada hal yang menarik terkait sejarah pendirian Kesultanan Serdang ini. Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh, bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung Sunggal.

Raja Urung merupakan sebuah jabatan wali negeri, atau bisa dikatakan raja-raja kecil, yang ada dalam sistem pemerintahan suku Karo pada masa Hindia Belanda.

Sunggal merupakan sebuah daerah Suku Karo, yang pada masa itu sudah memeluk agama Islam. Saat ini, daerah Sunggal masuk wilayah Kota Medan, ibukota Sumatera Utara.

Laksamana Khoja Bintan adalah keturunan dari Amir Muhammad Badaruddin Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India, yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri dari Sultan Samudera Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil bekas wilayah Kerajaan Haru (kerajaan Karo), yang berpusat di daerah Sungai Lalang-Percut.

Pada tahun 1630, 4 Raja Urung suku Karo di wilayah Kesultanan Deli, mengangkat Laksamana Khoja Bintan, menjadi raja di Deli. Keempat Raja Urung itu adalah Raja Urung Sunggal, Raja Urung Senembah, Raja Urung Batak Timur, dan Raja Urung Tanjung Merawa.

Dengan demikian, Laksamana Khoja Bintan merupakan Raja Deli yang pertama. Kemudian, keempat Raja Urung Suku Karo ini membentuk Lembaga Datuk Berempat.

Dalam perkembangannya, terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3, mangkat pada tahun 1723. Kemelut ini terjadi karena putera tertua raja yang seharusnya menggantikannya, memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja.

Putera kedua, Tuanku Pasutan (putera dari selir), sangat berambisi menjadi raja. Ia mengambil alih takhta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar (putera dari permaisuri) bersama ibundanya, Permaisuri Tuanku Puan, sampali ke wilayah Serdang.

Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena merupakan putera dari permaisuri, tetapi karena masih di bawah umur, akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari terjadinya perang saudara, maka pada tahun 1723, Raja Urung Sunggal bersama Raja Urung Senembah dan Raja Urung Batak Timur, serta seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar sebagai raja Serdang pertama.

Menarik hubungan sejarah ini, dengan keberadaan desa Serdang di Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo, saya belum mendapatkan penjelasan terperinci. Namun, menjadi menarik, bahwa Desa Serdang Kabupaten Karo dengan Desa Liang Kabupaten Deli Serdang di seberangnya, hanya dipisahkan oleh gugusan perbukitan Taman Nasional Bukit Barisan, sebagai batas geografis alami desa Serdang di sebelah Timur.

Hamparan padi sawah di Desa Serdang, dengan latar belakang gugusan bukit TN. Bukit Barisan di sebelah Timur
Hamparan padi sawah di Desa Serdang, dengan latar belakang gugusan bukit TN. Bukit Barisan di sebelah Timur

Tidak jarang, apabila pemburu dari kedua desa ini tersesat di hutan, akan ditemukan oleh pemburu lain dari desa seberangnya. Pada kejadian seperti ini, seringkali antara warga kedua desa yang berseberangan terjadi interaksi. Apakah itu perdagangan (barter pada masa lalu), atau sekadar silaturahmi kerabat serumpun, yang tentu saja melibatkan acara makan-makan.

4. Lemang sebagai Simbol Budaya Serumpun

Menariknya lagi, dari berbagai referensi, kita bisa mengetahui bahwa suku-suku bangsa rumpun Melayu ini, sama-sama menjadikan lemang sebagai makanan perayaan, meskipun berbeda nama di sana-sini. Sebagaimana kita ketahui juga, ada pada suku Dayak, Ulun Lampung, Minangkabau, bahkan di Kelantan, suku Semai, pada orang-orang Banjar di Samarinda, dan mungkin masih banyak juga pada suku lainnya.

Lemang sebenarnya sudah umum dikenal di berbagai daerah. Terlepas dari berbagai perbedaan dalam penamaan, bahan-bahan, cara pembuatan dan cara penyajiannya, setidaknya lemang memiliki satu titik kesamaan pada berbagai budaya.

Lemang umumnya disajikan pada acara selamatan, pesta syukuran, atau pesta adat, sebagaimana adanya dalam "Rires" pada pesta "Kerja Tahun" suku Karo. Mirip halnya dengan penyajian nasi tumpeng, yang sudah menjadi bagian kebiasaan yang umum dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia.

Satu hal lagi yang tidak kalah penting, bahwa penelusuran sejarah, sekalipun hanya dalam balutan makanan, tidak jarang membawa kita kepada sebuah perenungan, bahwa sebenarnya kita semua memang bersaudara.

Salam kita satu keluarga.

Referensi: 1, 2, 3, 4, 5

Penulis: TT ; Editor: Awan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun