Tidak lama lagi kepemimpinan KPK Jilid IV akan berakhir. Artinya, tongkat estafet kepemimpinan lembaga anti korupsi ini akan berpindah tangan. Melalui panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh presiden, calon-calon pimpinan KPK jilid V akan diseleksi menjadi 10 nama. Saat ini tercatat ada 104 orang capim KPK 2019-2023 yang dinyatakan lolos seleksi uji kompetensi dan telah melakukan tes psikologi Minggu (28/7/2019).
Hasil tes psikologi rencananya akan diumumkan Senin (5/8/2019). Para kandidat capim KPK ini berasal dari berbagai latar belakang seperti dari unsur Polri, pensiunan Polri, hakim, mantan hakim, jaksa, pensiunan, jaksa, advokat, auditor, unsur KPK, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, PNS, pensiunan PNS, dll.
Menariknya, ada 3 orang komisioner KPK Jilid IV yang termasuk dalam 104 capim KPK ini. Ketiganya adalah Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, dan Laode Muhammad Syarif. Menariknya lagi, ada beberapa anggota Polri aktif yang ikut dalam seleksi ini.
Berbagai pencapaian dari KPK periode 2015-2019 tentu harus diapresiasi. Pengungkapan kasus KTP elektronik (sering salah ditulis e-KTP) yang melibatkan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto mungkin bisa dianggap sebagai prestasi yang fenomenal.
Selain itu ada juga pengungkapan kasus yang melibatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy terkait dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama. Ini belum termasuk penangkapan sejumlah pejabat daerah mulai gubernur, walikota, bupati, wakil walikota, wakil bupati dan angota DPRD. Yang terbaru adalah penangkapan terhadap Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun Rabu (10/7/2019) terkait kasus dugaan suap pemberian izin lokasi untuk rencana reklamasi di Kepulauan Riau dan Bupati Kudus Muhammad Tamzil Jumat (26/7/2019) terkait kasus suap pengisian jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten (pemkab) Kudus.
Sejak kepemimpan KPK jilid IV (2015-2019) tercatat ada 8 gubernur dan 66 walikota/bupati dan wakil yang terjerat kasus tindak pidana korupsi (Sumber: www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-profesi-jabatan).
Pertanyaannya sekarang adalah apakah OTT (Operasi Tangkap Tangan) yang dilakukan KPK ini mampu membuat efek jera bagi para koruptor?
Jika melihat tren pejabat negara yang ditangkap KPK selama lima tahun terakhir, sepertinya OTT KPK ini belum sepenuhnya membuat jera para pelaku tindak pidana korupsi.
Kenapa?
Orang melakukan sesuatu-termasuk korupsi-pasti didorong oleh setidaknya dua hal, yakni adanya niat/hasrat/keinginan dan adanya kesempatan. Niat tanpa kesempatan bisa jadi tidak dapat dilakukan dan kesempatan tanpa niat lebih sulit diwujudkan.
Permasalahannya adalah KPK sulit bahkan tidak mungkin mengontrol niat seseorang untuk korupsi. KPK hanya bisa bisa mengurangi atau menghilangkan kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Menghilangkan kesempatan ini dapat dilakukan dengan mendorong transparansi birokrasi sehingga publik dapat mengontrol dan mengawasi secara langsung tata kelola keuangan pemerintahan.
Di tengah besarnya harapan masyarakat yang tertumpu pada pimpinan KPK, sosok pimpinan KPK seperti apa yang dibutuhkan?
Selain persyaratan formal yang ditentukan oleh UU, tentu ada beberapa 'syarat lain' yang dibutuhkan untuk kepemimpinan KPK 4 tahun mendatang. Syarat-syarat tersebut termasuk namun tidak terbatas pada:
1. Pimpinan KPK mendatang diharapkan benar-benar dapat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.
Fenomena gunung es korupsi yang hanya nampak di permukaan sering mengelabuhi kita bahwa sejatinya korupsi justru masih banyak terselubung dan tersembunyi. Memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan upaya luar biasa dan sinergi yang harmonis antara KPK dan stakeholder lainnya, termasuk pembuat UU, penegak hukum lainnya dan civil society.
Masyarakat melalui layanan pengaduan KPK bisa berkontribusi menyampaikan pengaduan atau informasi yang valid jika menemukan atau mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan sekitarnya. Tentu akan lebih baik jika disertai bukti-bukti pendukung yang kuat dan memadai sehingga dapat membantu KPK menuntaskan suatu perkara korupsi.
2. Pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat memaksimalkan fungsi supervisi dan koordinasi dengan penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksaan).
Jika dilihat 5 tugas KPK berdasarkan UU KPK maka hanya satu tugas yang terkait langsung dengan penegakan hukum (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), empat tugas lainnya terkait koordinasi, supervisi, pencegahan dan monitoring. Ini artinya bahwa ide awal pembentukan KPK sebenarnya adalah untuk mengkoordinasikan dan mengoptimalkan fungsi aparat penegak hukum terkait pemberantasan korupsi bukan berjalan sendiri dalam 'ruang hampa' pemberantasan korupsi.
3. Dengan segala fasilitas yang lebih canggih yang dimiliki oleh KPK dibandingkan kepolisian dan kejaksaan, pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat memaksimalkan fasilitas yang ada untuk efektivitas penegakan hukum.
Efektivitas artinya berhasil guna. Fasilitas seperti alat intersepsi yang dimiliki oleh KPK telah membuat KPK lebih "tajam" dibandingkan penegak hukum lainnya. Seyogyanyalah alat-alat canggih yang dibeli mahal ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan nirpenyalahgunaan.
4. Pimpinan KPK mendatang diharapkan tanpa pandang bulu dan tidak melakukan tebang pilih terhadap pelaku atau terduga pelaku tindak pidana korupsi.
Siapa pun yang terindikasi atau terduga melakukan tindak pidana korupsi baik pejabat pemerintah setingkat menteri, Â menteri, mantan menteri, mantan wakil presiden, mantan presiden, wakil presiden bahkan presiden sekali pun jika terdapat bukti permulaan yang cukup wajib diproses sesuai ketentuan UU.
Saat ini karena terbentur UU, satu-satunya lembaga yang belum bisa disentuh KPK adalah TNI.
Kenapa?
Karena TNI memiliki lembaga peradilan sendiri yakni peradilan militer. Menurut UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, oknum prajurit TNI yang terlibat tindak pidana (termasuk korupsi) hanya dapat diadili di peradilan militer.
Contoh kasusnya adalah mantan Pangdam Jaya dan Pangdam Brawijaya, Letjen (Purn.) Djaja Suparman yang harus diadili di peradilan militer karena diduga menerima kompensasi dana atas ganti rugi lahan milik Kodam saat menjabat sebagai Pangdam V/Brawijaya.
Kasus yang lebih baru adalah kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland AW101 yang diduga melibatkan beberapa oknum perwira dan prajurit TNI, KPK tidak dapat menanganinya secara tuntas dan akhirnya menyerahkan kasusnya ke Puspom TNI. Ke depan, bersama DPR dan pemerintah selaku pembuat UU, perlu dipikirkan solusi terbaik berupa revisi UU terkait penanganan korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI aktif.
Langkah terobosan lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan judicial review ke MK terkait anggota TNI tidak dapat diadili di peradilan umum. Khusus untuk tindak pidana korupsi, KPK berdasarkan UU KPK yang bersifat lex specialis seharusnya diberikan wewenang untuk menanganinya, meskipun akan selalu muncul kontroversi di tengah-tengah masyarakat mengingat fungsi dan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara, menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
5. Pimpinan KPK mendatang diharapkan tidak menargetkan seseorang (pejabat, mantan pejabat, dll.) secara khusus untuk dijadikan tersangka berdasarkan alasan subjektivitas.
Pimpinan KPK tetap harus bekerja sesuai koridor dan profesional. Karena perbedaan latar belakang preferensi politik dalam arti luas misalnya, KPK tidak boleh menargetkan seseorang untuk dipaksakan menjadi tersangka meskipun belum disertai bukti permulaan yng cukup. Dengan keterbatasan sumber daya (manusia, anggaran) yang ada KPK harus tetap bisa bekerja secara proporsional dan profesional.
6. Pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat mengutamakan pencegahan korupsi dibandingkan penindakan.
Pimpinan KPK mendatang harus mampu mengimbangi ekspos penangkapan terduga korupsi dengan ekspos berapa uang negara yang dapat diselamatkan karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh KPK.
Penangkapan sering diasosiasikan sebagai "jebakan KPK" kepada pejabat negara/pemerintah daerah, oleh karenanya operasi pencegahan juga harus diekspos kepada publik agar publik memahami bahwa pekerjaan KPK bukan hanya mengangkap para koruptor tapi bisa juga mencegah korupsi.
7. Pimpinan KPK mendatang diharapkan lebih memprioritaskan pengungkapan kasus-kasus yang bersifat BLL, yakni kasus korupsi merugikan keuangan negara dalam skala Besar dan berdampak Luas dan Langsung terhadap publik.
Prioritas ada karena keterbatasan sumber daya. Jika tidak ada keterbatasan sumber daya, semua bisa dilaksanakan secara simultan tanpa prioritas. Dengan keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran yang ada, KPK harus dapat membuat pemetaan terhadap kasus-kasus tindak pidana skala besar dan berdampak luas dan langsung.Â
Besar karena merugikan keuangan negara daoam skala besar, misalnya di atas 2 triliun. Berdampak luas jika korupsi yang dilakukan berdampak pada hampir seluruh lapisan masyarakat. Berdampak langsung jika korupsi yang dilakukan berdampak secara langsung bagi masyarakat, seperti korupsi bantuan bencana, korupsi dana kesehatan, korupsi beras untuk rakyat pra-sejahtera, dll.
8. Jika efek jera atau sock theraphy tidak mampu lagi mengurangi angka korupsi maka pimpinan KPK mendatang harus mempu mencari terobosan baru agar pejabat publik yang sudah pernah terkena kasus korupsi tidak bisa menjabat lagi, misalnya dengan mengajukan tuntutan pencabutan hak politik seumur hidup atau sekurang-kurangnya selama 15 tahun.
Mengumumkan calon kepala daerah yang pernah terlibat kasus korupsi atau dengan status tersangka di hadapan publik agar tidak dipilih oleh rakyat sepertinya kurang ampuh, terbukti calon bupati Tulungagung Syahri Mulyo yang sudah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka tetap menang pada pemilukada serentak 2018 lalu dengan persentase suara cukup meyakinkan 59,96% suara.
Terobosan lainnya adalah bersama pemerintah dan DPR melakukan revisi UU Pemilukada dimana calon kepala daerah yang berstatus tersangka oleh KPK seharusnya didiskualifikasi dari peserta pemilukada.
9. Pimpinan KPK mendatang diharapkan mampu memperluas jangkauan kerja dengan memperbanyak kantor-kantor wilayah KPK bukan untuk mempermudah OTT tapi lebih untuk pencegahan dan sosialisasi tentang area rawan korupsi dan gratifikasi. Jika mendapati oknum pejabat daerah mulai bersinggungan dengan kasus korupsi maka KPK harus memberikan peringatan atau teguran keras kepada oknum pejabat tersebut yang jika tidak diindahkan maka akan dilakukan penindakan melalui operasi penangkapan.
Jika dianalogikan dengan dunia kesehatan, maka KPK harus lebih banyak membuat posyandu dari pada membangun rumah sakit. Posyandu anti-korupsi ini berfungsi mencegah korupsi dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya korupsi hampir sama dengan bahaya narkoba. Masyarakat miskin yang kekurangan gizi dan akhirnya meninggal karena korupsi bantuan sosial misalnya tentu lebih banyak jumlahnya dari korban penyalahgunaan narkoba.
Oleh karenanya mencegah korupsi tentu lebih baik dibandingkan menunggu jatuhnya korban karena korupsi. KPK harus benar-benar memahami esensi pemberantasan korupsi adalah untuk kemanfaatan masyarakat luas alih-alih membuat efek jera bagi pelakunya.
10. Pimpinan KPK mendatang harus benar-benar memahami bahwa KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Komisi Penangkap Koruptor. Pemberantasan berarti penghapusan atau setidak-tidaknya pengurangan yang dapat dilakukan dengan upaya pencegahan dan penaggulangan. Salah satu ukuran kinerja KPK adalah IPK (Indeks Persepsi Korupsi) atau Corruption Perseption Index (CPI) Â dimana pada tahun 2018 lalu skor CPI Indonesia naik satu poin menjadi 38 (rentang skor 0-100) dan masih peringkat 4 di ASEAN di bawah Singapura (85), Brunei (63) dan Malaysia (47).
Karena CPI ini berbasis survei publik maka yang harus dilakukan oleh KPK adalah memastikan pelayanan publik oleh instansi publik bebas dari pungli dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan serta perilaku koruptif lainnya.
Banyak harapan dibebankan kepada pimpinan KPK periode mendatang. Banyak tunggakan kasus-kasus besar yang harus diselesaikan. Semoga saja pansel KPK dapat memilih calon pimpinan KPK yang berani, jujur, cakap, tidak tercela, memiliki integritas moral yang tinggi, komit dan independen (non partisan) sesuai dengan harapan masyarakat. (ins.saputra)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H