Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mencari Sosok Pimpinan KPK

2 Agustus 2019   22:53 Diperbarui: 19 Agustus 2019   11:42 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta (KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN)

Masyarakat melalui layanan pengaduan KPK bisa berkontribusi menyampaikan pengaduan atau informasi yang valid jika menemukan atau mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan sekitarnya. Tentu akan lebih baik jika disertai bukti-bukti pendukung yang kuat dan memadai sehingga dapat membantu KPK menuntaskan suatu perkara korupsi.

2. Pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat memaksimalkan fungsi supervisi dan koordinasi dengan penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksaan).
Jika dilihat 5 tugas KPK berdasarkan UU KPK maka hanya satu tugas yang terkait langsung dengan penegakan hukum (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), empat tugas lainnya terkait koordinasi, supervisi, pencegahan dan monitoring. Ini artinya bahwa ide awal pembentukan KPK sebenarnya adalah untuk mengkoordinasikan dan mengoptimalkan fungsi aparat penegak hukum terkait pemberantasan korupsi bukan berjalan sendiri dalam 'ruang hampa' pemberantasan korupsi.

3. Dengan segala fasilitas yang lebih canggih yang dimiliki oleh KPK dibandingkan kepolisian dan kejaksaan, pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat memaksimalkan fasilitas yang ada untuk efektivitas penegakan hukum.

Efektivitas artinya berhasil guna. Fasilitas seperti alat intersepsi yang dimiliki oleh KPK telah membuat KPK lebih "tajam" dibandingkan penegak hukum lainnya. Seyogyanyalah alat-alat canggih yang dibeli mahal ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dan nirpenyalahgunaan.

4. Pimpinan KPK mendatang diharapkan tanpa pandang bulu dan tidak melakukan tebang pilih terhadap pelaku atau terduga pelaku tindak pidana korupsi.
Siapa pun yang terindikasi atau terduga melakukan tindak pidana korupsi baik pejabat pemerintah setingkat menteri,  menteri, mantan menteri, mantan wakil presiden, mantan presiden, wakil presiden bahkan presiden sekali pun jika terdapat bukti permulaan yang cukup wajib diproses sesuai ketentuan UU.
Saat ini karena terbentur UU, satu-satunya lembaga yang belum bisa disentuh KPK adalah TNI.
Kenapa?

Karena TNI memiliki lembaga peradilan sendiri yakni peradilan militer. Menurut UU 31/1997 tentang Peradilan Militer, oknum prajurit TNI yang terlibat tindak pidana (termasuk korupsi) hanya dapat diadili di peradilan militer.

Contoh kasusnya adalah mantan Pangdam Jaya dan Pangdam Brawijaya, Letjen (Purn.) Djaja Suparman yang harus diadili di peradilan militer karena diduga menerima kompensasi dana atas ganti rugi lahan milik Kodam saat menjabat sebagai Pangdam V/Brawijaya.

Kasus yang lebih baru adalah kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland AW101 yang diduga melibatkan beberapa oknum perwira dan prajurit TNI, KPK tidak dapat menanganinya secara tuntas dan akhirnya menyerahkan kasusnya ke Puspom TNI. Ke depan, bersama DPR dan pemerintah selaku pembuat UU, perlu dipikirkan solusi terbaik berupa revisi UU terkait penanganan korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota TNI aktif.

Langkah terobosan lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan judicial review ke MK terkait anggota TNI tidak dapat diadili di peradilan umum. Khusus untuk tindak pidana korupsi, KPK berdasarkan UU KPK yang bersifat lex specialis seharusnya diberikan wewenang untuk menanganinya, meskipun akan selalu muncul kontroversi di tengah-tengah masyarakat mengingat fungsi dan tugas TNI sebagai alat pertahanan negara, menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

5. Pimpinan KPK mendatang diharapkan tidak menargetkan seseorang (pejabat, mantan pejabat, dll.) secara khusus untuk dijadikan tersangka berdasarkan alasan subjektivitas.
Pimpinan KPK tetap harus bekerja sesuai koridor dan profesional. Karena perbedaan latar belakang preferensi politik dalam arti luas misalnya, KPK tidak boleh menargetkan seseorang untuk dipaksakan menjadi tersangka meskipun belum disertai bukti permulaan yng cukup. Dengan keterbatasan sumber daya (manusia, anggaran) yang ada KPK harus tetap bisa bekerja secara proporsional dan profesional.

6. Pimpinan KPK mendatang diharapkan dapat mengutamakan pencegahan korupsi dibandingkan penindakan.
Pimpinan KPK mendatang harus mampu mengimbangi ekspos penangkapan terduga korupsi dengan ekspos berapa uang negara yang dapat diselamatkan karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun