Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meninjau Kembali Pilpres Langsung

31 Mei 2019   14:31 Diperbarui: 8 Juni 2019   12:08 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat Suara Pada Pemilihan Umum Presiden 2019. Sumber gambar: nasional.kompas.com

Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah kontestasi lima tahunan sesuai amanat konstitusi (UUD 1945). Tata cara pilpres diatur melalui UU.
Atas nama demokrasi (demos berarti rakyat, kratos bermakna pemerintahan) dan legitimasi, konstitusi kita telah mengamanatkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD.

Tercatat 4 kali (2004, 2009, 2014, 2019) sudah kita mengadakan pilpres secara langsung. Tingkat partisipasi pemilih pun cenderung meningkat.
Pilpres 2019 sedikit berbeda dengan pilpres-pilpres sebelumnnya karena dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD.

Mengamati betapa kompleksnya pilpres secara langsung dan betapa mahal biaya yang harus dikeluarkan, baik biaya materiil (mencapai Rp. 25 T termasuk pemilu legislatif) maupun immateriil (jumlah petugas KPPS yang meninggal, jumlah massa/pendemo yang menjadi korban, jumlah tokoh-tokoh masyarakat yang terpaksa harus berurusan dengan aparat penegak hukum, banyaknya ujaran kebencian dan konten hoaks di media sosial, dll.) maka sudah saatnya dilakukan peninjauan kembali terhadap UU Pemilu, khususnya tentang tata cara pemilihan presiden.

Terkait pemilihan presiden secara langsung, revisi UU Pemilu tidak dapat dilakukan tanpa melakukan amandemen terhadap UUD 1945 karena perintah pemilihan presiden secara langsung terdapat dalam pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:"Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat". Dan menurut konstitusi kita, amandemen UUD 1945 hanya boleh dilakukan oleh MPR.

Sejatinya nafas dan jiwa dari UUD 1945 adalah Pancasila karena pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 digali dari nilai-nilai Pancasila.
Terkait pemilihan umum, sila Pancasila yang mendasarinya adalah sila keempat yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Secara eksplisit tertulis kata "perwakilan". Ini artinya bahwa demokrasi kita sesungguhnya mengutamakan musyawarah dalam mengambil suatu keputusan. Pengambilan keputusan (dapat) dilakukan melalui sistem perwakilan.

Apakah pemilihan presiden secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai dan jiwa Pancasila?

Tentu saja hal ini masih bisa diperdebatkan. Ada yang mengatakan tidak bertentangan dan ada juga yang mengatakan kurang sesuai dengan nilai-nilai dan jiwa Pancasila.

Apakah pemilihan presiden melalui perwakilan bertentangan dengan Pancasila?

Karena telah tertulis secara eksplisit pada sila keempat, tentu saja pemilihan presiden melalui sistem perwakilan tidak bertentangan dengan semangat Pancasila.

Demokrasi telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi kita untuk memilih cara yang tepat dan demokratis dalam melangsungkan susksesi kepemimpinan nasional.

Sejak pemilu 2004, mekanisme yang dipilih adalah pemilihan presiden secara langsung. Namun, dengan pertimbangan banyaknya dampak negatif dan mahalnya 'biaya' yang harus dikeluarkan, tidak menutup kemungkinan dilakukannya reamandemen UUD 1945 dan revisi UU Pemilu yang menjadi turunannya.

Jika UUD 1945 telah direamandemen dan memungkinkan dilakukannya pemilihan presiden secara tidak langsung atau melalui perwakilan, maka penulis mengusulkan dalam revisi UU Pemilu  diatur hal-hal sebagai berikut:

1. Pemilihan presiden dipisahkan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD dan dilakukan setelah anggota DPR, DPRD dan DPD terpilih.
2. Pemilihan anggota DPR, DPRD dan DPD dilakukan secara langsung sedangkan pemilihan presiden dilakukan secara tidak langsung atau melalui perwakilan sebagaimana amanat Pancasila sila keempat.
3. Perwakilan yang dimaksud adalah presiden dipilih oleh anggota MPR yang terdiri dari DPR dan DPD melalui suara terbanyak.

4. Calon presiden dan wakil presiden bisa diusulkan oleh minimum dua fraksi DPR dan/atau oleh DPD tanpa syarat minimum persentase.
5. Jika seluruh anggota MPR  yang saat ini jumlahnya 711 orang (dengan rincian anggota DPR sebanyak 575 orang dan angggota DPD sebanyak 136 orang) dirasa masih kurang merepresentasikan suara seluruh rakyat Indonesia maka hak suara pemilih presiden bisa diberikan kepada seluruh kepala daerah yang masih aktif di tingkat provinsi (gubernur) hingga kabupaten/kota (bupati/walikota).

Kenapa?
Setidaknya ada 2 (dua) alasan kenapa kepala daerah diberikan hak untuk memilih presiden. 

Pertama, secara hierarki presiden sebagai kepala pemerintahan adalah atasan dari kepala daerah.

Kedua, bagaimana pun juga kepala daerah adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah sehingga kepala pemerintah pusat (presiden) harus mendapat  'legitimasi' dari para kepala daerah agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.

Dengan jumlah anggota MPR sebanyak 711 orang, gubernur 34 orang, dan bupati dan walikota 514 orang maka jumlah total anggota MPR ditambah kepala daerah yang memiliki hak suara untuk memilih presiden menjadi 1.259 suara. Jumlah ini dirasa cukup representatif dibandingkan jumlah anggota MPR yang hanya 711 orang.

Dengan jumlah pemilih sebanyak 1.259  orang, pemilihan presiden pun bisa dilakukan melalui mekanisme e-Voting (pemilihan elektronik) sehingga hasil real quick count-nya bisa diperolah dalam hitungan jam.

Anggota MPR dapat memilih di gedung MPR/DPR sedangkan kepala daerah memilih di KPU Provinsi/Kabupaten/Kota masing-masing atau jika infrastruktur di beberapa KPU kabuputen/kota belum memadai, bupati dan walikota bisa memilih di KPU provinsi.

Praktis, cepat, mudah, murah, demokratis, ramah lingkungan, tidak melelahkan dan tidak memicu tindakan anarkis. Selain itu, tidak dibutuhkan lagi lembaga survei untuk melakukan Quick Count pemilihan presiden. Quick Count masih bisa dilakukan untuk pemilu legislatif.

Masalah laten yang tidak terpecahkan dari sistem pemilihan melalui perwakilan adalah masih adanya kemungkinan money politic (politik uang). Namun dengan cara apa pun selama keinginan untuk berbuat curang masih ada, politik uang juga tetap akan ada. Permasalahannya adalah bagaimana membuat suatu sistem yang mampu mengurangi celah kemungkinan orang berbuat curang.

Sesungguhnya tidak ada yang kekal di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Sejarah mencatat negara kita pernah menggunakan UUD 1945 di awal kemerdekaan kemudian menjadi UUD RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949, lalu menjadi UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) dan kembali lagi ke UUD 1945 tahun 1959. Saat itu yang diubah adalah konstitusi negara kita, UUD 1945. Saat ini yang diusulkan untuk diamandemen adalah salah satu atau beberapa pasal pada UUD 1945 hasil amandemen terakhir. Jadi amat sangat mungkin dilakukan asal rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR menghendakinya. (ins.saputra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun