Mohon tunggu...
Iin Syah
Iin Syah Mohon Tunggu... -

Pemimpi dan berusaha meraih mimpi. Menulis dan bergerak maju. Abdi negara dan anti korupsi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mau Dibawa Kemana Hubungan Kita Ini?

11 Januari 2015   08:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang lalu, saya mendapat pengalaman berharga yang membuat saya akhirnya nekad membuat tulisan ini. Selama ini saya berpikir, beberapa pengalaman kurang menyenangkan yang saya dan beberapa rekan saya alami cukup jadi pengalaman pribadi semata. Pengalaman yang membuat saya jengkel setengah mati, lalu share dengan teman-teman, dan ya sudah! Terlupakan. Bukan hanya terlupakan, tapi juga termaafkan.

Kisahnya seperti ini:

Jumat, 9 Januari 2014. Sekitar pukul sembilan pagi, suami saya mendapat telpon dari sahabatnya. Kami kenal baik sehingga sudah seperti keluarga. Sang sahabat dengan suaranya yang panik meminta untuk bicara dengan saya. Saya bertanya, ada apa. Beliau menerangkan jika istrinya sedang di rumah sakit dan sedang dalam proses persalinan. Karena sesuatu dan lain hal, sang istri tidak bisa melahirkan secara normal dan harus menjalani operasi. Beliau panik dan tidak mengerti mengapa istrinya harus di operasi. Saya bilang, tunggu sebentar, saya segera melaju ke Rumah Sakit tersebut.

Sesampainya di rumah sakit, saya disambut oleh istrinya dengan berurai air mata. Katakanlah nama ibu yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya itu adalah Anisa. Anisa tidak bersedia dioperasi. Dia takut sekali dan tidak mengerti kenapa dia harus dioperasi. Saya bertanya pada dokter yang menanganinya dan mendapat penjelasan kenapa hal tersebut harus dilakukan.

Berdasarkan keterangan dokter saya mengerti alasan Anisa harus menjalani operasi. Dengan hati-hati dan bahasa yang dimengerti Anisa, saya mencoba meyakinkan Anisa dan keluarga kalau tindakan itu memang diperlukan. Ketuban Anisa sudah pecah sejak 12 jam yang lalu, denyut jantung bayi juga sudah meningkat, sementara pembukaan jalan lahir baru 2 cm. Saya juga mencoba membesarkan hati Anisa dan menenangkannya. Mengatakan bahwa insya Allah semua akan baik-baik saja, dan berusaha meyakinkan keluarga yang juga dalam keadaan panik.

Akhirnya, Anisa setuju untuk dioperasi. Alangkah leganya perasaan saya. Keselamatan Anisa dan bayinya adalah di atas segalanya. Maka saya duduk di samping Anisa, sementara suami Anisa menandatangani dokumen yang menyatakan kesediaan mereka untuk dilakukan tindakan operasi.

Namun tiba-tiba terjadi sedikit ketegangan. Suami Anisa, Surya (bukan nama sebenarnya) datang bicara pada saya, "Mbak In, mereka mau saya tanda tangan surat persetujuan untuk pemasangan KB. Saya nggak mau Mbak. Saya dan istri saya sudah sepakat tidak akan KB dulu sekarang. Setidaknya, nantilah dipikirkan. Tidak sekarang."

Saya belum sempat bicara apa pun, namun seorang petugas kesehatan datang dan menyodorkan dokumen tersebut untuk ditandatangani Anisa. Petugas itu datang sambil mengomel panjang lebar. Sementara Anisa hanya meringis kesakitan menahan nyeri yang datang.

"Ibu kan PNS. Pasti mengerti dengan pentingnya KB. Ayo tanda tangan di sini."

"Saya baca dulu ya dokumennya." Kata Anisa lemah.

Petugas itu mengomel lagi dan bilang, "Itu dokumennya panjang sekali. Sudah tanda tangan saja."

Anisa menandatangani bagian untuk dilakukan tindakan operasi tapi tetap menolak untuk menandatangani tindakan kontrasepsi.

Petugas tersebut kelihatan jengkel sekali dan pergi ke meja dokter. Tak lama kemudian dengan suara angkuhnya dia memanggil saya.

"Hei, kamu bidan kan? Dipanggil dokter sana. Ini kamu tidak becus penyuluhannya. Sampai-sampai pasien menolak untuk KB."

Saya bengong mendengar kata-kata kasar dan menghakimi tersebut. Tapi saya coba bersikap tenang. Saya datang dan duduk dikelilingi beberapa dokter dan petugas di situ.

Dengan tatapan menyalahkan, sang dokter bertanya,

"Jadi bagaimana ini, kenapa pasien tidak mau tanda tangan?"

Dengan mencoba sabar, saya jelaskan. Kalau saya memang bidan. Tapi saya di sini sebagai keluarga. Bukan sebagi bidan pendamping pasien. Karena selama hamil, tidak sekali pun saya memeriksa pasien tersebut. (Lagi pula jangankan memeriksa, kasih penyuluhan. Bertemu saja tidak pernah. Selama 4 bulan terakhir saya ada di Jakarta mengikuti program pelatihan Bahasa Inggris dalam rangkaian program beasiswa S2 saya, sementara Anisa ada di kota kelahiran saya).

Saya katakan, saya ada di sini justru ingin membantu. Karena pasien awalnya tidak mau di operasi. Saya tahu resiko yang mungkin akan dihadapi pasien dan bayinya jika mereka tetap bersikeras tidak dioperasi. Dan sekarang mereka sudah mau. Saya ada di sini tidak lebih dan tidak kurang untuk itu.

Tapi entah mereka mengerti dengan penjelasan saya atau tidak, mereka malah menjejali saya dengan kata-kata yang tidak pada tempatnya bahkan lebih berupa ancaman.

"Itu tanggung jawab kamu kenapa pasien menolak KB!"

"Memangnya kamu bidan dari mana?"

"Lho, anda tahu tidak, kalau program KB ini program nasional?"

"Anda tahu pentingnya KB?"

"Kalau saja ada dokter Piktor di sini, habis kamu!"

Lah? Saya bengong dengan kata-kata mereka yang berapi-api itu. Saya seperti dikerubungi sosok-sosok ajaib yang asal main ancam dan mengintimidasi. Memangnya salah saya apa ya? Beberapa diantara kata-kata mereka tak sempat saya jawab satu persatu. Karena sambung-menyambung dan tidak menyisakan ruang untuk dijawab. Di hadapan saya sama sekali tak terlihat sosok profesional yang sedang berjuang untuk menolong nyawa manusia lain. Tidak tergambar sama sekali sosok orang-orang yang sedang memperjuangkan meningkatnya penggunaan kontrasepsi, orang-orang yang katanya rekan seprofesi yang harusnya saling menghormati.

Mereka menjelma menjadi sosok arogan yang sedang menyantap hidangan lezat di kandang mereka sendiri. Orang-orang congkak yang bahkan tidak menganalisa situasi. Saya tiba-tiba teringat dengan pengalaman-pengalaman lalu ketika merujuk pasien dan mendapat penyambutan serupa dengan sekarang ini di RS ini. Juga pengalaman teman-teman saya.

Biasanya jika diperlakukan seperti ini, teman-teman saya sesama bidan, sebagian besar dari kami hanya akan terdiam, dan membeku. Siapa yang tidak akan kehilangan suara dicerca sedemikian rupa dengan banyak kata yang menyudutkan?

Okey. Dengan suara bergetar menahan kesal, saya coba menjelaskan lagi situasinya.

"Pasien ini tidak pernah memeriksakan kehamilannya pada saya. Jadi saya tidak bertanggungjawab atas keputusannya. Dan kalaupun saya bidannya. Dan kita semua. Apapun pilihan pasein itu harus kita hormati. Kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada pasien, bukan?!"

Alamak. Statement saya semakin memanaskan suasana. Mereka ramai-ramai "menyerbu" saya.

"Oh. Berarti anda tidak mendukung program nasional!"

"Anda bidan tapi malah menyarankan pasien tidak KB. Bidan apa ini?"

WHAT? Logika berpikir macam apa yang mengartikan kata-kata "Apapun pilihan pasien harus kita hormati." dengan seberondongan kalimat-kalimat kacau mereka itu. Sementara saya masih berbaik sangka, jika mereka tidak menyamaartikan program nasional dengan program pemaksaan nasional.

Akhir dari perdebatan yang tidak imbang itu, saya dipaksa untuk menandatangani surat keterangan saksi. Saya berasumsi hal tersebut juga bagian dari intimidasi dan ancaman mereka.

"Kalau memang pasien tidak mau KB, kamu tanda-tangan surat pernyataan tidak bersedia itu."

Saya jawab,

"Lah apa urusannya saya yang tanda-tangan. Pasien dan keluarga pasien dong yang tanda-tangan."

"Sudah tanda tangan saja. Kamu tetap bertanggungjawab."

Lah orang-orang ini memang suka memaksa ya. Aneh banget.

"Tidak. Ini bukan tanggung jawab saya. Itu ada suami, kakak, dan saudara-saudaranya. Saya tidak bersedia tanda-tangan surat itu."

Setelah perdebatan tersebut saya kembali ke sisi Anisa yang semakin kesakitan menahan nyeri diperutnya. Astaga, sementara kami berdebat, harusnya waktunya bisa dipergunakan untuk segera menolong Anisa. Petugas kesehatan yang lain kembali mendekati Anisa. Berceramah panjang lebar tentang keluarga berencana. Anisa dan keluarga masih menolak, dan petugas-petugas tersebut semakin berapi-api bahu membahu menceramahi Anisa yang sedang sibuk meredam nyeri. Saya keluar.

***

Sebelum saya menjelaskan panjang lebar tentang perspektif saya terhadap kisah di atas, saya masih berhutang jawaban atas cercaan beruntun mereka. Karena tidak sempat menjawab pada saat itu, saya jawab di sini saja. Dengan besar harapan mereka membaca tulisan ini.

"Itu tanggung jawab kamu kenapa pasien menolak KB!"

(Pasien ini selama kehamilannya kontrol dengan dokter S*****, SPOG, yang notabene atasan mereka di RS tersebut. Jadi kalau ada pihak yang paling bertanggungjawab terhadap gagalnya promosi KB pada pasien tersebut adalah dr. S*****. Saya membayangkan situasi jika dr. S***** yang mereka omeli seperti mereka mengomeli saya: "Kamu tidak becus memberikan penyuluhan!" Emang berani? Makanya, lain kali, jangan sok pintar dan tidak mendengar penjelasan orang lain! Sibuk dengan argumentasi sendiri tanpa tahu duduk permasalahannya.).

"Memangnya kamu bidan dari mana?" (Yang ini saya jawab dengan lantang dan gagah berani. "Saya dari Puskesmas Girian Weru!")

"Lho, anda tahu kalau program KB ini program nasional?" (Dari SD dulu juga udah tahu kalau KB program nasional!)

"Anda tahu pentingnya KB?" (Banget! Saya pernah menulis artikel tentang pentingnya KB. Dimuat di harian Manado Post tanggal 20-21 Agustus 2013, 2 September 2013 https://inrainy.wordpress.com/2014/11/29/perempuan-dan-kemerdekaan-dalam-perspektif-kesehatan-reproduksi/)

"Kalau saja ada dokter Piktor di sini, habis kamu!" (Wah serem, takut saya. Btw, siapa tuh dokter Piktor?).

***

Tulisan di atas persis seperti kejadian yang sebenarnya. Sebenarnya awalnya saya berencana untuk menulisnya secara lebih elegan, memolesnya dengan lebih halus. Tapi setelah saya pikir-pikir, memaparkannya dengan apa adanya lebih mengena dengan situasi ini.

Berangkat dari kejadian di atas, ada dua permasalahan pokok yang saya harap kedepannya dapat menjadi lebih baik. Pertama, hubungan petugas desa (bidan/perawat) dengan petugas rumah sakit (bidan,perawat, dokter). Kedua, hak pasien atas pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Untuk permasalahan pertama, ini tidak terjadi di semua RS. Saya pribadi mempunyai pengalaman operasi persalinan untuk ketiga anak saya, di 3 rumah sakit yang berbeda. Saya dilayani oleh dokter-dokter, bidan, dan perawat yang sangat profesional. Mereka sangat komunikatif, dan tidak pernah ada unsur pemaksaan sekali pun dalam semua tindakan yang diambil.

Sebagai bidan, saya juga mengenal banyak dokter yang santun dan sangat menghargai profesi saya sebagai bidan. Berbagi pengalaman, dan mengingatkan jika ada kekeliruan saya dalam menangani pasien.

Jadi pengalaman di atas hanya terjadi di satu rumah sakit tersebut. Dan memang bukan ini yang pertama kalinya. Beberapa pengalaman senada juga saya dan teman-teman alami. Ketika kami merujuk pasien ke RS tersebut. Sambutan yang tidak ramah, pernyataan yang menyudutkan, hingga perlakuan yang tidak pada tempatnya (seperti dimarahi di depan pasien).

Sebenarnya permasalahan ini sudah pernah kami diskusikan dengan pihak terkait. Saya pribadi sejak kejadian kurang menyenangkan sekitar setahun yang lalu, tidak pernah lagi merujuk pasien ke RS itu. Namun, tidak merujuk pasien saja ternyata tetap mendapatkan perlakuan serupa.

Perlakuan tidak menyenangkan antara sesama profesi tersebut sangat tidak menguntungkan. Saya pribadi, dan rekan-rekan saya menjadi enggan untuk merujuk pasien ke rumah sakit tersebut. Siapa pula yang mau setelah mengobservasi pasien seharian, kemudian menemukan masalah, lalu pontang-panting ke RS karena ingin segera menyelamatkan pasien, sesampainya di RS malah dibentak-bentak di depan pasien?

Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan berlanjut. Program kesehatan juga harus mengacu pada peningkatan moral dan hubungan manusiawi antara sesama petugas kesehatan. Bagaimana mau melayani pasien dengan santun jika terhadap sesama rekan seprofesi saja seperti itu.

Kedua, tentang hak-hak pasien. Sekali lagi, untuk kejadian seperti ini, sepanjang sejarah saya menjadi bidan, baru kali ini terjadi. Dimana dokter dan petugas lainnya bahu-membahu memperjuangkan program nasional pada pasien yang lagi kesakitan dan kebingungan dan pada keluarganya yang sedang panik. Benar-benar usaha yang harus dihormati seharusnya. Saya angkat topi, meski saya juga berusaha memahami kalau mereka sebenarnya tahu jika merupakan hak pasien untuk setuju atau menolak hak tersebut.

Tulisan ini saya selesaikan dengan harapan, di RS lain, di tempat lain dimanapun di republik tercinta kita ini, tidak pernah terjadi kejadian seperti ini lagi. Intimidasi, ancaman, dan pemaksaan sudah bukan zamannya lagi. Mari duduk dan berdiskusi dengan benar. Mengemukakan pendapat dan juga mendengar pendapat orang lain. Berusaha mengadvokasi tanpa memandang rendah orang lain.

Hidup Indonesia Sehat!

Inraini Fitria Syah, SKM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun