Anisa menandatangani bagian untuk dilakukan tindakan operasi tapi tetap menolak untuk menandatangani tindakan kontrasepsi.
Petugas tersebut kelihatan jengkel sekali dan pergi ke meja dokter. Tak lama kemudian dengan suara angkuhnya dia memanggil saya.
"Hei, kamu bidan kan? Dipanggil dokter sana. Ini kamu tidak becus penyuluhannya. Sampai-sampai pasien menolak untuk KB."
Saya bengong mendengar kata-kata kasar dan menghakimi tersebut. Tapi saya coba bersikap tenang. Saya datang dan duduk dikelilingi beberapa dokter dan petugas di situ.
Dengan tatapan menyalahkan, sang dokter bertanya,
"Jadi bagaimana ini, kenapa pasien tidak mau tanda tangan?"
Dengan mencoba sabar, saya jelaskan. Kalau saya memang bidan. Tapi saya di sini sebagai keluarga. Bukan sebagi bidan pendamping pasien. Karena selama hamil, tidak sekali pun saya memeriksa pasien tersebut. (Lagi pula jangankan memeriksa, kasih penyuluhan. Bertemu saja tidak pernah. Selama 4 bulan terakhir saya ada di Jakarta mengikuti program pelatihan Bahasa Inggris dalam rangkaian program beasiswa S2 saya, sementara Anisa ada di kota kelahiran saya).
Saya katakan, saya ada di sini justru ingin membantu. Karena pasien awalnya tidak mau di operasi. Saya tahu resiko yang mungkin akan dihadapi pasien dan bayinya jika mereka tetap bersikeras tidak dioperasi. Dan sekarang mereka sudah mau. Saya ada di sini tidak lebih dan tidak kurang untuk itu.
Tapi entah mereka mengerti dengan penjelasan saya atau tidak, mereka malah menjejali saya dengan kata-kata yang tidak pada tempatnya bahkan lebih berupa ancaman.
"Itu tanggung jawab kamu kenapa pasien menolak KB!"
"Memangnya kamu bidan dari mana?"