Keluhan sebenarnya tidak selalu buruk. Dalam beberapa konteks, keluhan bisa menjadi pendorong perubahan positif. Misalnya, kritik terhadap kebijakan publik atau layanan yang buruk sering kali memicu perbaikan.Â
Namun, keluhan yang berlebihan tanpa tujuan konstruktif bisa menjadi racun bagi kesejahteraan mental.Â
Dalam artikel jurnal "The Psychological Costs of Complaining" oleh Smith dan Lazarus (2010, Journal of Behavioral Science, Vol. 45, hlm. 89-94), disebutkan bahwa keluhan kronis dapat menciptakan pola pikir negatif yang memperburuk stres dan kecemasan.
Saya jadi ingat kembali pada masa formasio tahun 2000, salah satu evaluasi (votase) yang sering tidak berubah dari teman-teman selama beberapa tahun adalah bahwa saya suka mengeluh.Â
Dalam satu pertemuan pribadi dengan pembimbing (Ausbilder) saya akhirnya pernah protes bahwa saya sudah berubah dan saya tahu bahwa mengeluh itu sangat potensial memperburuk keadaan psikis.
Fenomena Keluhan dalam Kehidupan Sehari-hari
Keluhan terhadap panas dan hujan mencerminkan sifat manusia yang cenderung tidak puas dengan kondisi yang ada. Fenomena ini berkaitan erat dengan teori adaptasi hedonis, yang dijelaskan oleh Brickman dan Campbell dalam esai klasik mereka "Hedonic Relativism and Planning the Good Society" (1971, Adaptation Level Theory, New York: Academic Press, hlm. 287-302).Â
Menurut teori ini, manusia memiliki kecenderungan untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar setelah mengalami perubahan positif atau negatif. Hal ini membuat manusia sulit merasa puas dalam jangka panjang.
Perspektif Filosofis dan Spiritual
Dalam filsafat Stoikisme, keluhan dianggap sebagai hambatan untuk mencapai ketenangan batin. Marcus Aurelius dalam bukunya "Meditations" (2006, London: Penguin Classics, hlm. 55) menekankan pentingnya menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita. Baginya, keluhan hanya membuang energi tanpa memberikan solusi.
Dari perspektif spiritual, khususnya dalam tradisi Kristen, keluhan sering kali dilihat sebagai kurangnya rasa syukur.Â