Kedewasaan sejati adalah ketika seseorang dapat menerima kenyataan dengan tenang, memahami bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana Sang Pencipta | Ino Sigaze.
Di bawah gubuk bambu, datanglah seorang pria yang sedang menggenggam niat untuk menjadi seorang pertapa. Wajahnya tidak memperlihatkan apa-apa selain ekspresi lucu yang terlihat sederhana, seolah-olah dunia ini tidak terlalu penting baginya.
Tampaknya dia bukan orang cerdas, apalagi bijaksana. Sebut saja namanya Ses. Duduk bersila di antara teman-teman seperjuangannya, Ses tiba-tiba mengajak mereka masuk ke dalam suasana refleksi. Namun yang muncul justru ledakan tawa.
Semua temannya tertawa karena Ses, yang biasanya tak banyak bicara, mencoba menyelami filosofi kehidupan yang sesungguhnya nyata.Â
Tawa meledak karena mereka heran, merasa begitu lucu bahwa Ses, yang sering terkesan biasa saja, bisa berbicara tentang hal yang begitu mendalam.
Tak ada yang menyangka bahwa Ses akan berlagak bijak saat itu. Dalam suasana serius yang dibangunnya, tiba-tiba Ses berkata, "Suka datang, duka pergi; duka datang, suka pergi."
Tahun 2000 waktu itu, dan itulah pertama kalinya Ses berbicara dengan nada yang terdengar bijak, meski kata-katanya tetap sederhana, sangat sederhana.
Namun, ironisnya, dari semua momen yang pernah mereka jalani bersama di tahun itu, hanya kata-kata Ses-suka, duka, dan pergi--yang tertinggal membekas dalam ingatan.Â
Permainan kata yang mengungkap realitas hidup manusia terasa begitu nyata, seolah-olah hidup memang hanyalah serangkaian suka, duka, dan perpisahan.
Begitu banyak dari kita yang tersesat dalam kebuntuan karena tak memahami transformasi dari suka, duka, dan kepergian dalam hidup ini.Â
Dan sejatinya, ada hikmah yang tertitip dari pengalaman yang dulu tampak lucu di tahun 2000 itu---hikmah yang hingga kini tetap menghibur dan menyentuh kedalaman hidup.
Mendalami Permainan Kata Suka-Duka
Hidup ini memang sering kali diwarnai oleh kata "suka". Di era digital, kata "suka" atau "like" telah menjadi simbol yang dicari banyak orang. Bahkan sering kali disandingkan dengan "share".Â
Kedua kata itu seolah saling mengisi: jika kamu suka, maka kamu membagikannya.
Namun, suka bisa juga disalahartikan. Sama seperti yang diucapkan Ses, suka yang ia maksud adalah sukacita, meski suka dan sukacita memang memiliki hubungan sebab-akibat.Â
Ketika seseorang menyukai sesuatu, orang lain yang menerima itu pun merasakan sukacita.
Sama seperti dalam bahasa Jerman, suka disebut mögen, sedangkan sukacita disebut Freude.
Tapi bagaimana dengan duka? Tak ada orang yang suka pada duka. Meskipun kehidupan sering disebut sebagai "suka duka", berapa banyak dari kita yang benar-benar mau menerima duka dalam hidup?
Mungkin duka di sini bukan merujuk pada kematian, melainkan pada kesedihan dan beban hati yang datang dari masalah kehidupan. Kesedihan semacam ini lebih sering dialami manusia dibandingkan kehilangan akibat kematian.
Permainan Kata yang Mencerahkan
Mengapa kata-kata ini begitu menarik? Karena manusia jarang melihat hidupnya sebagai bagian dari permainan kata.Â
Dalam rentang 24 jam, seseorang bisa saja tidak menyadari kapan ia terlibat dalam permainan kata-kata. Kata-kata bisa menjadi alat untuk bermain dengan emosi manusia.
Saat emosi berubah, kata pun bergeser makna. Kebebasan yang dimiliki manusia sering kali membuatnya lupa mengendalikan kata-kata, atau bahkan lupa memilih kata apa yang harus diberi fokus.
Logisnya, jika seseorang terus berbicara tentang masalah, maka masalah itu akan semakin terasa nyata.Â
Sebaliknya, jika ia dapat bermain dengan kata-kata yang lebih positif dan penuh keyakinan, suasana hatinya akan berubah karena perubahan kata yang digunakannya.
Kata itu hidup. Tuhan menciptakan dunia ini dengan kata-kata, dan kita sering tidak menyadari bahwa arah hidup kita ditentukan oleh kata-kata yang kita pilih.
Saya teringat tulisan David R. Hawkins, "...in this world of duality, man has been given a consciousness that can instantly detect what's destructive---and signal it to his otherwise ignorant mind." Di dunia dualitas ini, manusia telah diberi kesadaran untuk mengenali apa yang merusak dan memberi sinyal kepada pikirannya yang tidak sadar.
Kesadaran dalam Menghadapi Masalah
Masalah tidak akan pernah ada jika manusia tidak ada. Masalah hanyalah hasil ciptaan manusia, dan manusia sendiri yang memberi nama pada masalah itu.
Pada tingkat kesadaran tertentu, kita akan menyadari bahwa tak perlu menciptakan masalah. Namun, mengapa masalah selalu datang?Â
Hidup kita tidak hanya ditentukan oleh diri sendiri, karena ada kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Namun di sisi lain, hidup kita juga dipengaruhi oleh proses yang bersifat supranatural.Â
Proses inilah yang sering tidak dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga ketika masalah muncul, mereka terjebak dalam stres dan putus asa.
Orang bijak menulis bahwa ketika kamu memohon kebijaksanaan atau kepemimpinan, Tuhan tidak langsung memberimu hadiah kebijaksanaan, tetapi memberimu masalah.Â
Melalui masalah itulah kamu belajar mengasah kesadaran dan membuat pilihan.
Tak ada yang bisa menjadi dewasa tanpa mengenali masalah. Tak ada pemimpin besar yang tidak pernah menghadapi kesulitan.Â
Dan kedewasaan sejati adalah ketika seseorang dapat menerima kenyataan dengan tenang, memahami bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana Sang Pencipta.
Salam berbagi, Ino, 5 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H