Kedewasaan sejati adalah ketika seseorang dapat menerima kenyataan dengan tenang, memahami bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana Sang Pencipta | Ino Sigaze.
Di bawah gubuk bambu, datanglah seorang pria yang sedang menggenggam niat untuk menjadi seorang pertapa. Wajahnya tidak memperlihatkan apa-apa selain ekspresi lucu yang terlihat sederhana, seolah-olah dunia ini tidak terlalu penting baginya.
Tampaknya dia bukan orang cerdas, apalagi bijaksana. Sebut saja namanya Ses. Duduk bersila di antara teman-teman seperjuangannya, Ses tiba-tiba mengajak mereka masuk ke dalam suasana refleksi. Namun yang muncul justru ledakan tawa.
Semua temannya tertawa karena Ses, yang biasanya tak banyak bicara, mencoba menyelami filosofi kehidupan yang sesungguhnya nyata.Â
Tawa meledak karena mereka heran, merasa begitu lucu bahwa Ses, yang sering terkesan biasa saja, bisa berbicara tentang hal yang begitu mendalam.
Tak ada yang menyangka bahwa Ses akan berlagak bijak saat itu. Dalam suasana serius yang dibangunnya, tiba-tiba Ses berkata, "Suka datang, duka pergi; duka datang, suka pergi."
Tahun 2000 waktu itu, dan itulah pertama kalinya Ses berbicara dengan nada yang terdengar bijak, meski kata-katanya tetap sederhana, sangat sederhana.
Namun, ironisnya, dari semua momen yang pernah mereka jalani bersama di tahun itu, hanya kata-kata Ses-suka, duka, dan pergi--yang tertinggal membekas dalam ingatan.Â
Permainan kata yang mengungkap realitas hidup manusia terasa begitu nyata, seolah-olah hidup memang hanyalah serangkaian suka, duka, dan perpisahan.
Begitu banyak dari kita yang tersesat dalam kebuntuan karena tak memahami transformasi dari suka, duka, dan kepergian dalam hidup ini.Â
Dan sejatinya, ada hikmah yang tertitip dari pengalaman yang dulu tampak lucu di tahun 2000 itu---hikmah yang hingga kini tetap menghibur dan menyentuh kedalaman hidup.