Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kecerdasan Hati, AI dan Pendidikan Anti-Kekerasan

3 Oktober 2024   07:47 Diperbarui: 3 Oktober 2024   15:59 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kecerdasan Hati, AI dan Pendidikan Anti Kekerasan | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze. 

Kemajuan dunia pendidikan saat ini ternyata tidak luput dari bayang-bayang kekerasan yang masih terjadi di sekolah-sekolah | Ino Sigaze 

Meski era reformasi seolah menutup tirai kelam sejarah kekerasan di lembaga pendidikan, kenyataannya, berbagai bentuk kekerasan masih menyusup dalam dinamika harian di lingkungan pendidikan kita.

Kesadaran baru tentang pendidikan tanpa kekerasan (Non-Violence) lahir sebagai angin segar, mengakhiri praktik-praktik kekerasan yang pernah dianggap legal di masa Orde Baru. Kesadaran ini tak hanya menjadi kebangkitan moral, tetapi juga dijadikan dasar hukum yang kuat melalui serangkaian kebijakan pemerintah.

Lahirnya Undang-Undang (UU No. 17 Tahun 2016) merupakan wujud nyata komitmen bangsa ini untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang aman bagi generasi mendatang, bebas dari segala bentuk kekerasan. 

Bahkan jauh sebelum itu, bangsa ini telah meniti jalan panjang dalam upaya melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan, seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 yang merevisi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pada dasarnya, visi tentang pendidikan tanpa kekerasan telah tertanam dalam hati para pendiri bangsa ini sejak lama, sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama pada Pasal 20, 21, 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2). 

Fondasi hukum yang kuat ini menggarisbawahi bahwa pendidikan kita harus bebas dari kekerasan. Namun, realitas di lapangan sering kali berkata lain.

Pertanyaan yang menggugah hati kita adalah: Mengapa kekerasan masih terjadi di sekolah, dan apa yang harus dilakukan agar sekolah menjadi tempat yang benar-benar aman? 

Sejumlah gagasan berikut perlu direnungkan kembali agar pendidikan kita tak lagi mewariskan jejak kekerasan:

Basis Pendidikan Tanpa Kekerasan

Pendidikan tanpa kekerasan harus dimulai dari rumah. Kasih, hormat, dan penghargaan terhadap sesama harus diajarkan sejak dini. 

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak mengajarkan penghargaan terhadap sesama cenderung membawa luka itu ke dalam pergaulannya di sekolah. Kesadaran akan nilai kehidupan dan martabat manusia pertama-tama perlu ditanamkan oleh orangtua, lalu diteruskan oleh para pendidik di sekolah.

Kasih sayang, tentu saja, bukan hanya untuk dipelajari, tetapi untuk dirasakan. Secara logis, kita dapat mengatakan, "Jika seorang anak tidak pernah merasakan kasih sayang di rumah, bagaimana mungkin ia bisa memperlakukan teman-temannya di sekolah dengan penuh kasih?"

Di sinilah pentingnya peran bersama antara orangtua, guru, dan anak-anak dalam mewujudkan pendidikan tanpa kekerasan.

Kecerdasan Hati dan Pendidikan Tanpa Kekerasan

Pendidikan tidak sekadar membentuk anak menjadi cerdas secara emosional dan kognitif, tetapi juga perlu membentuk kecerdasan hati (Herzintelligenz). 

Kecerdasan hati berhubungan dengan kemampuan anak untuk bijak dalam mengambil keputusan, membedakan antara yang benar dan yang salah sesuai dengan nilai-nilai moral.

Orang Mesir Kuno menyebut hati sebagai "Ieb", pusat kehidupan dan sumber kebijaksanaan manusia. Sementara itu, peradaban Mesopotamia dan Yunani menganggap hati sebagai pusat jiwa. 

Pendidikan kita perlu menyerap kebijaksanaan ini: melatih anak-anak untuk menjadi bijaksana, bukan hanya berdasarkan rasionalitas, tetapi juga dengan mempertimbangkan suara hati.

Keseimbangan antara perasaan, rasionalitas, dan hati harus terus diasah. Kombinasi ketiganya akan membentuk karakter anak yang berintegritas.

Pendidikan Moral Pancasila dan Kecanggihan AI

Generasi saat ini hampir tidak lagi mendengar cerita tentang Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan butir-butirnya yang penuh nilai. Barangkali kita perlu menengok kembali warisan ini, karena dasar negara kita berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila.

Namun, di era ini, dunia seolah berputar pada teknologi kecerdasan buatan (AI), yang serba canggih dan "kekinian." Ironisnya, AI tak memiliki hati. Ia sekadar menjalankan algoritma tanpa peduli pada emosi manusia di balik setiap tindakan.

AI bisa memberikan teori, prinsip, dan penjelasan yang presisi. Tapi, untuk memahami kesedihan di wajah seseorang atau rasa sakit akibat kekerasan, hanya hati manusia yang mampu menangkapnya. 

Hati adalah sumber kebijaksanaan yang tak bisa dipalsukan. Semakin kita menolak mendengarkan hati, semakin jauh kita dari kedamaian sejati.

Betapapun canggihnya dunia ini, kita tak boleh melupakan teknologi paling berharga yang diberikan Sang Pencipta: hati nurani manusia.

Salam berbagi, Ino, 3 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun