Kedua, batu asah dari alam menghasilkan bunyi lebih senyap pada saat mengasah karena orang menambahkan campuran air saat mengasah.Â
Ketiga, pada saat mengasah tidak terlihat ada kandungan seperti pasir besi, tentu berbeda dengan batu asah yang dijual.Â
Keempat, soal praktis yakni bahwa orang tidak perlu membeli karena batu asah dari alam bisa ditemukan di hutan atau di kali tanpa membutuhkan biaya.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang-orang kampung yang lebih memilih barang jadi polesan teknologi. Mungkin karena ukuran lebih kecil dan orang bisa membawanya kemana saja mereka pergi dan mereka membutuhkannya.Â
Demikian juga kemungkinan untuk urusan tajamnya menjadi lebih cepat, tapi batu asah buatan itu sering menguras peralatan sehingga menjadi berkurang secara fisik.
Berbeda tentu saja dengan batu asah dari alam, ketajamannya bertahan lama dan tanpa menguras dengan cepat besi sehingga menjadi terkikis dan habis.
Term Metaforis tentang Kualitas Hidup
Penduduk asli di sana punya ucapan dan keyakinan bahwa parang yang diasah dengan batu gurinda atau batu asah yang mereka beli itu selalu membuat parang jadi tidak kuat atau dalam tutur adat kami (nga ngura), sebaliknya jika sering diasah dengan batu asah dari alam, maka parang itu menjadi kuat (nga tu).
Istilah yang berkaitan dengan kenyataan keseharian itu tentu saja berangkat dari pengalaman mereka sendiri. Pengalaman kehidupan yang membentuk keyakinan mereka sehingga terciptalah distingsi antara teknologi dan alam.
Keduanya di mata mereka ada perbedaan kualitas. Menariknya lagi bahwa istilah nga ngura dan nga tu itu seringkali menjadi term metaforis yang dipakai dalam banyak situasi di pergulatan kehidupan mereka.