Hidup itu harus diasah melalui perjumpaan dengan yang lain supaya menjadi lebih berkualitas | Ino Sigaze.
Sore itu kami duduk beberapa orang di halaman rumah kampung Worowitu, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores, NTT. Entah siapa yang membawa batu itu, tiba-tiba saja terlihat seperti terpental di depan halaman rumah.
Sudah pasti ada orang yang membawa batu itu sebelumnya. Teringat kenangan masa kecil, ketika zaman bermain dengan teman sebaya.Â
Waktu itu hampir menjadi semacam rutinitas bahwa setelah pulang sekolah kami anak laki-laki dari kampung itu berangkat ke kali untuk mandi, bermain dan juga mencari undang dan kenari.
Tahun 1988 punya kenangan sendiri. Tahun yang diwarnai dengan kelaparan itu, dilalui kami anak-anak penuh dengan sukacita hanya karena kami punya selera dan kesukaan yang unik.
Pada tahun-tahun itulah kami belajar mengenal kekayaan alam yang ada di wilayah kampung kami. Sebagai anak-anak sekolah dasar, kami punya peralatan sederhana, seperti sebilah parang kecil yang sering dipakai jika ada pekerjaan di sekolah seperti membersihkan lingkungan.
Parang kecil itu biasanya dibawa serta dan juga beberapa membawa peralatan panah untuk menangkap udang. Tidak luput dari prahara sederhana kami pada masa itu adalah berhenti sejenak di kali untuk mengasah parang.
Batu Asah dari Alam dan FungsinyaÂ
Uniknya lagi di sepanjang kali Orotonggo di wilayah desa Kerirea itu ada begitu banyak kandungan alam batu-batu asah. Tidak heran pada masa itu, orang tidak pernah membeli batu asah, karena mereka selalu menggunakan batu asah yang asli dari alam.
Kualitas batu asah dari alam itu tidak jauh berbeda dengan batu asah buatan. Bahkan bisa dibilang bagi kebanyakan orang kampung merasa lebih nyaman menggunakan batu asah dari alam, daripada batu asah dari yang mereka beli.
Beberapa alasan yang menjadi latar belakangnya, tentu saja ada. Pertama, mereka merasa nyaman karena dari segi ukuran, batu asah dari alam selalu punya ukuran yang jauh lebih besar dari batu asah yang dijual.Â
Kedua, batu asah dari alam menghasilkan bunyi lebih senyap pada saat mengasah karena orang menambahkan campuran air saat mengasah.Â
Ketiga, pada saat mengasah tidak terlihat ada kandungan seperti pasir besi, tentu berbeda dengan batu asah yang dijual.Â
Keempat, soal praktis yakni bahwa orang tidak perlu membeli karena batu asah dari alam bisa ditemukan di hutan atau di kali tanpa membutuhkan biaya.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang-orang kampung yang lebih memilih barang jadi polesan teknologi. Mungkin karena ukuran lebih kecil dan orang bisa membawanya kemana saja mereka pergi dan mereka membutuhkannya.Â
Demikian juga kemungkinan untuk urusan tajamnya menjadi lebih cepat, tapi batu asah buatan itu sering menguras peralatan sehingga menjadi berkurang secara fisik.
Berbeda tentu saja dengan batu asah dari alam, ketajamannya bertahan lama dan tanpa menguras dengan cepat besi sehingga menjadi terkikis dan habis.
Term Metaforis tentang Kualitas Hidup
Penduduk asli di sana punya ucapan dan keyakinan bahwa parang yang diasah dengan batu gurinda atau batu asah yang mereka beli itu selalu membuat parang jadi tidak kuat atau dalam tutur adat kami (nga ngura), sebaliknya jika sering diasah dengan batu asah dari alam, maka parang itu menjadi kuat (nga tu).
Istilah yang berkaitan dengan kenyataan keseharian itu tentu saja berangkat dari pengalaman mereka sendiri. Pengalaman kehidupan yang membentuk keyakinan mereka sehingga terciptalah distingsi antara teknologi dan alam.
Keduanya di mata mereka ada perbedaan kualitas. Menariknya lagi bahwa istilah nga ngura dan nga tu itu seringkali menjadi term metaforis yang dipakai dalam banyak situasi di pergulatan kehidupan mereka.
Misalnya orang yang berilmu dan bijaksana itu bisa disebut sebagai nga tu, tetapi sebaliknya yang seperti tong kosong nyaring bunyinya mereka bilang nga ngura.
Bahkan dalam dunia perburuan, mereka sering pula menggunakan istilah yang sama. Memiliki seekor anjing yang pintar berburu bagi mereka itu bisa disebut sebagai nga tu, sebaliknya pada anjing yang malas berlari dan mencari mangsanya disebut nga ngura.
Kenyataan itu sebenarnya sangat sederhana, namun bagi saya hal itu penting untuk ditulis, karena beberapa alasan:
1. Narasi tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam itu adalah bagian dari keilmuan dan sejarah peradaban manusia.
2. Terlihat sekali bahwa pada masyarakat budaya terjadi proses transformasi konsep berpikir, dari istilah yang menggambarkan kenyataan seperti nga ngura-nga tu diubah ke dalam term metaforis untuk menjelaskan keadaan lain yang esensinya sama.
3. Melihat kenyataan dan narasi kehidupan serta pilihan orang-orang yang jauh dari teknologi membentuk wawasan bahwa perkembangan teknologi pada sisi yang lain bisa memanjakan manusia hingga menjadikannya lupa akan peradabannya sendiri yang praktis dan murah.
4. Munculnya kesadaran bahwa alam memiliki kekayaan yang berlimpah bagaikan sebuah lumbung eksplorasi yang tidak akan pernah selesai. Ya, eksplorasi gagasan dan kenyataan yang mulai dilupakan generasi sekarang.
Salam berbagi, Ino, Selasa, 30 Juli 2024.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI