Rumah jompo menyiapkan pilihan hidup masa depan yang aman, tetapi apakah itu adalah bagian dari budaya kita? Mana lebih penting mempertahankan budaya atau mempertahan hidup di usia tua? | Ino Sigaze
Sorotan topik tentang apakah rumah jompo akan menjadi pilihan masa depan masyarakat Indonesia atau tetap mempertahankan keyakinan budaya bahwa rumah jompo bukan bagian dari budaya kita, menarik untuk dikaji.
Dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat modern, rumah jompo sering kali menjadi pilihan banyak orang. Pilihan ini tentunya dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, yang erat kaitannya dengan kemodernan di satu sisi dan pola pikir masyarakat pada umumnya di sisi lain.
Tulisan ini lebih merupakan bagian dari pengalaman pribadi saya selama dua tahun bekerja di panti jompo di Jerman. Ulasan tentang pengalaman ini akan dibagi ke dalam beberapa poin penjelasan:
1. Tujuan Bekerja di Panti Jompo
Pertama kali saya ditawari untuk bekerja di panti jompo di kota Mainz adalah bersamaan dengan datangnya krisis COVID-19.Â
Di tengah hembusan virus yang misterius itu, saya dihadapkan pada pertanyaan antara rasa nyaman dan panggilan untuk melayani orang-orang jompo.
Tujuan bekerja di panti jompo tentu saja adalah untuk melayani mereka. Pelayanan spiritual sesuai dengan profesi saya adalah yang bisa saya berikan.Â
Ternyata di Jerman, tenaga Seelsorge (pemelihara jiwa) sangat dibutuhkan dan bahkan dianggap mutlak diperlukan di rumah jompo.Â
Dari kenyataan itu, saya merasakan bahwa pilihan pelayanan saat itu melampaui sekadar pelayanan kemanusiaan. Tugas pelayanan di tengah orang asing tentunya memiliki tantangan yang menarik dan juga menegangkan.
2. Persyaratan dan Ketentuan
Banyak orang yang sudah hidup beberapa tahun di Jerman tentu memiliki mimpi untuk bekerja di sana. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa untuk bekerja di sana ada banyak tuntutan dan persyaratan yang harus dipenuhi.Â
Diperlukan standar bahasa C1, surat kelakuan baik dari kepolisian Jerman, pengalaman kerja, riwayat hidup, dan riwayat pendidikan.
Selain itu, yang paling dibutuhkan adalah kemampuan berintegrasi dan beradaptasi dengan situasi kerja, komunikasi yang baik, serta kesediaan untuk membangun jaringan kerja sama dengan orang lain dan belajar hal-hal baru.
Ongoing formation adalah program formasi berkelanjutan yang ditawarkan oleh pemerintah maupun keuskupan tempat kita bekerja.Â
Program ini tampak melelahkan, tetapi sebenarnya sangat menguntungkan karena wawasan dan keilmuan bisa didapatkan dari orang-orang profesional.Â
Saya mendapatkan program ini dengan biaya yang ditanggung oleh pihak keuskupan, sehingga sangat menguntungkan. Ya, satu paket kursus itu bisa mencapai 30 juta.
Salah satu ilmu yang saya dapatkan adalah bagaimana mendampingi orang-orang yang hendak meninggal dunia (Sterbebegleitung).Â
Sebelumnya, saya hanya menyadari bahwa ilmu konseling adalah yang paling penting, tetapi dalam perjalanan saya menemukan bahwa masih banyak ilmu lain yang justru sangat dibutuhkan di masyarakat.Â
Peluang belajar hal baru ini saya dapatkan ketika bekerja di rumah jompo. Selain ilmu, saya juga mendapatkan jaringan kerja sama yang luas mencakup 9 keuskupan.
4. Gaji dan Penghargaan
Gaji dan penghargaan yang diberikan kepada pegawai di rumah jompo tergolong sangat besar. Pengalaman selama dua tahun bekerja di sana terasa sangat mencukupi. Meskipun saya hanya bisa bekerja setengah waktu (Halbe Stelle) karena kesibukan dan tugas belajar, untuk pekerjaan sebagai Seelsorge saya mendapatkan gaji sebesar 40 juta rupiah per bulan.Â
Angka ini sangat menyenangkan, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa besarnya gaji tersebut diimbangi dengan tuntutan pelayanan profesional yang sesuai dengan budaya Jerman.Â
Penghargaan lain yang saya dapatkan termasuk paket ongoing formation yang dibiayai dan sertifikat sebagai bukti telah mengikuti kursus keterampilan khusus.
5. Tantangan Kemandirian dan Kerjasama Tim
Bekerja di rumah jompo di Jerman sangat membutuhkan kemampuan interdisipliner. Kita harus membuat perencanaan dan program-program baru yang menarik minat para jompo, yang harus disiapkan sendiri atau dengan tim yang kita bentuk sendiri.Â
Sebagai contoh, dalam pelayanan spiritual yang pernah saya lakukan, saya membuat flyer untuk menjelaskan jenis kegiatan dan membagikannya kepada semua anggota rumah jompo.Â
Kita harus mengumpulkan mereka dari bangunan berlantai enam ke lantai dasar untuk suatu acara yang kita siapkan, kemudian menjemput dan menghantar mereka kembali ke kamar masing-masing.
Memang ada tenaga pelayanan sosial (Sozialdienst), tetapi mereka memiliki program sendiri. Paling menyenangkan adalah ketika kita bisa bekerja sama dengan tim Sozialdienst itu.Â
Kemampuan bekerja sama sangat dibutuhkan dan memudahkan kita. Untuk bekerja di rumah jompo, setiap pekerja, entah apapun jabatannya, sangat dibutuhkan kemampuan untuk bernyanyi dan menari karena orang-orang jompo menyukai nyanyian dan tarian.
Refleksi atas Pelayanan di Rumah Jompo
Pelayanan di rumah jompo adalah bagian dari pengalaman yang kaya akan pelajaran kehidupan. Ada beberapa hal yang saya pelajari:
- Manusia tidak pernah abadi dan akan mengalami perubahan besar yang sulit diterima, tetapi itulah kenyataannya.
- Manusia adalah makhluk yang membutuhkan hiburan dan kata-kata positif dari orang lain.
- Setiap kemampuan yang dimiliki seseorang akan lebih bermanfaat jika disalurkan kepada orang lain, bukan dipendam.
- Pengalaman baru selalu didapatkan jika seseorang memiliki keterbukaan pada wawasan dan kehadiran yang berbeda dari dirinya sendiri.
Salam berbagi, 1 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H