Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kedewasaan Berpikir dalam Kontestasi Politik Angka dan Warna di Indonesia

18 November 2023   04:45 Diperbarui: 18 November 2023   16:12 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (27/1/2023). KPU telah menetapkan 18 partai politik nasional sebagai peserta Pemilu 2024. (KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN)

Kedewasaan berpikir sangat diperlukan dalam setiap momen pesta demokrasi agar orang tidak mudah terprovokasi dan mampu menemukan solusi di tengah konflik kepentingan pribadi serta perangkat nilai dan aturan yang berlaku. | Ino Sigaze.

Pesta demokrasi di negeri ini telah meninggalkan catatan sejarah yang unik pada setiap pemilu. Catatan sejarah ini terbentuk karena setiap pemilu menghasilkan adagium, slogan, dan stempel baru pada lawan politik, baik terdengar positif maupun negatif.

Selain slogan dan adagium yang cenderung provokatif, tidak dapat dihindari bahwa setiap pemilu rakyat Indonesia bermain dengan nomor dan warna.

Rupanya, wajah media kita telah dipenuhi dengan slogan-slogan, adagium, angka, dan warna. Peraturan dan larangan juga mulai bermunculan untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hati menggunakan simbol-simbol tertentu.

Tulisan ini mencoba membahas fenomena penggunaan simbol ini dalam kaitannya dengan kedewasaan dalam kontestasi politik tanah air. Ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan:

Mengapa Angka dan Warna Menjadi Penting di Masa Pemilu?

Kedewasaan cara berpikir dalam kontestasi politik angka dan warna di Indonesia | Dokumentasi pribadi oleh Ino Sigaze.
Kedewasaan cara berpikir dalam kontestasi politik angka dan warna di Indonesia | Dokumentasi pribadi oleh Ino Sigaze.

Manusia adalah pencipta angka dan warna. Angka dan warna muncul ke permukaan kehidupan ini karena kebutuhan manusia akan identifikasi dan kejelasan status sosial.

Angka dan warna tentu saja berkaitan dengan kejelasan. Tidak heran pada masa sekolah dasar tahun 1980-an, orang menyebut angka-angka itu sebagai ilmu pasti.

Pada angka dan warna, orang melihat kepastian, bukan keragu-raguan atau dilema. Lebih dari itu, sangat tergantung pada cara manusia menafsirkan dan memberikan arti pada angka dan warna yang ada.

Meskipun demikian, angka dan warna bukanlah keputusan akhir. Poin ini sangat penting dan perlu diingat. Penggunaan angka dan warna dalam konteks kehidupan sehari-hari bukanlah penentu dalam pemilu.

Jadi, mengapa kita takut atau sangat hati-hati dengan menyebut angka-angka dalam masa pemilu ini?

Nah, saya kira ini berkaitan dengan kedewasaan cara berpikir masyarakat kita. Masyarakat kita masih belum bisa membuat pemisahan mana yang merupakan angka dan warna yang dilihat secara rasional dan mana angka dan warna yang masuk dalam konteks kampanye.

Tentu saja akan menjadi sangat aneh kalau pada masa menjelang pemilu orang dilarang pakai baju berwarna dan dilarang menyebut angka.

Pemilu tentu saja bukan proses penghilangan kejelasan dan rasionalitas. Mengapa orang takut menunjukkan identitas?

Barangkali ini perlu menjadi bahan refleksi kita bersama, ternyata proses kampanye kita bisa menutup pintu kebebasan ekspresi yang kreatif.

Ada beberapa alasan: 

Pertama, orang tidak perlu dilarang berkampanye tentang identitas pilihannya karena masing-masing orang punya hak dan kebebasan berpolitik.

Kedua, proses kampanye yang akrab menggunakan angka dan warna itu bukan penentu dari suatu kemenangan, tetapi itu suatu promosi. 

Ketiga, keputusan (Entscheidung) akhir itu tidak terletak pada angka dan warna yang dikenakan oleh setiap orang, tetapi pada keputusan pencoblosan pada hari pemilihan.

Pemilu dan Kedewasaan Cara Berpikir

Pemilu, selain sebagai pesta demokrasi yang direfleksikan, tentu saja menimbulkan ketakutan-ketakutan yang tidak dijelaskan. Mengapa orang takut dengan angka-angka dan warna?

Secara rasional, kita mengenal angka-angka, dan semua angka itu tidak begitu berarti jika tidak dihubungkan dengan sesuatu yang lain.

Nah, masyarakat kita mungkin memiliki keyakinan budaya terkait angka-angka ini. Seperti misalnya, ada angka sial dan ada angka sempurna.

Tapi sekali lagi, itu adalah keyakinan budaya yang tidak selamanya benar dalam kenyataan. Oleh karena itu, saya lebih melihat bahwa angka itu lebih akrab dengan tren digital dan selera zaman.

Saya jadi ingat tanggal 16 November 2023 lalu ketika berpose bersama seorang guru yang mengatakan, "Ayo kita foto dengan gaya literasi." Pada saat itu, kami semua membuat tanda literasi dengan jari kami, meskipun sedikit sekali yang benar-benar berliterasi.

Ada banyak juga anak-anak kecil yang pada saat di foto mereka menunjukkan angka dengan jari-jari mereka. Apakah anak-anak itu nanti harus dilarang dan dihukum?

Tentu saja sangat aneh, karena mereka melakukan itu semata-mata karena selera zaman dan gaya-gaya populer di tengah masyarakat. 

Nah, sama halnya dengan gaya cinta dalam bahasa Korea, saranghae, di mana-mana, sampai orangtua pun, ketika di foto, jari mereka melukis simbol cinta dalam alam berpikir orang Korea.

Jadi, saya pikir jika kita punya cara berpikir dewasa, kita tidak akan melarang orang membuat simbol dengan gayanya masing-masing. Sekali lagi, jari yang menunjukkan angka-angka itu tidak akan menjadi sebuah keputusan akhir.

Angka, Warna, dan Psikologi Abnormal

Sebagian besar masyarakat Indonesia cukup sensitif terhadap angka dan warna, terutama dalam kontestasi politik. 

Momen pesta demokrasi membuat kita "merasa lain" dalam suasana hidup kebangsaan ini.

Kelainan adalah kata kunci dalam psikologi abnormal yang bermula dari teori Sigmund Freud. Bagi Freud, kelainan memiliki penyebab psikologis daripada fisik.

Mengapa kelainan bisa terjadi? Menurut Freud, kelainan terjadi karena adanya konflik yang tidak terselesaikan antara ego (saya yang disadari dan dipahami-Selbstbewusstsein) dan superego (apa yang di atas saya berupa aturan, larangan dan gagasan nilai dalam suatu masyarakat - Wertvorstellungen und Regeln der Gesellschaft).

Kelainan didasarkan pada keinginan, pikiran, dan ingatan yang tidak disadari. Bahkan jika hal itu tidak disadari, pikiran dan ingatan itu memengaruhi kita.

Nah, aspek pengaruh itulah yang tentu saja paling ditakuti oleh lawan politik dan masing-masing pendukungnya. 

Meskipun demikian, jika orang dapat berpikir kritis dan matang secara emosional, maka pilihan seseorang tidak bisa digoyahkan hanya dengan angka dan warna.

Faktor yang membawa seseorang pada keputusan akhir bukanlah angka dan warna, melainkan analisis fakta yang meyakinkan dan dapat dipercaya dalam perjalanan sejarah.

Sampai kapan masyarakat Indonesia tidak dapat dipengaruhi oleh angka dan warna, tetapi lebih bergantung pada cara berpikir dewasa yang rasional?

Edukasi terkait angka dan warna, keputusan dan pilihan, bahkan hingga dimensi psikologi, tentu saja penting untuk dicermati agar masyarakat kita mulai memahami bahwa kreativitas dan kebebasan berekspresi dalam momen pesta demokrasi harus dimaknai secara matang dan kritis.

Salam berbagi, Ino, 18 November 2023.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun