Nah, saya kira ini berkaitan dengan kedewasaan cara berpikir masyarakat kita. Masyarakat kita masih belum bisa membuat pemisahan mana yang merupakan angka dan warna yang dilihat secara rasional dan mana angka dan warna yang masuk dalam konteks kampanye.
Tentu saja akan menjadi sangat aneh kalau pada masa menjelang pemilu orang dilarang pakai baju berwarna dan dilarang menyebut angka.
Pemilu tentu saja bukan proses penghilangan kejelasan dan rasionalitas. Mengapa orang takut menunjukkan identitas?
Barangkali ini perlu menjadi bahan refleksi kita bersama, ternyata proses kampanye kita bisa menutup pintu kebebasan ekspresi yang kreatif.
Ada beberapa alasan:Â
Pertama, orang tidak perlu dilarang berkampanye tentang identitas pilihannya karena masing-masing orang punya hak dan kebebasan berpolitik.
Kedua, proses kampanye yang akrab menggunakan angka dan warna itu bukan penentu dari suatu kemenangan, tetapi itu suatu promosi.Â
Ketiga, keputusan (Entscheidung) akhir itu tidak terletak pada angka dan warna yang dikenakan oleh setiap orang, tetapi pada keputusan pencoblosan pada hari pemilihan.
Pemilu dan Kedewasaan Cara Berpikir
Pemilu, selain sebagai pesta demokrasi yang direfleksikan, tentu saja menimbulkan ketakutan-ketakutan yang tidak dijelaskan. Mengapa orang takut dengan angka-angka dan warna?
Secara rasional, kita mengenal angka-angka, dan semua angka itu tidak begitu berarti jika tidak dihubungkan dengan sesuatu yang lain.
Nah, masyarakat kita mungkin memiliki keyakinan budaya terkait angka-angka ini. Seperti misalnya, ada angka sial dan ada angka sempurna.
Tapi sekali lagi, itu adalah keyakinan budaya yang tidak selamanya benar dalam kenyataan. Oleh karena itu, saya lebih melihat bahwa angka itu lebih akrab dengan tren digital dan selera zaman.
Saya jadi ingat tanggal 16 November 2023 lalu ketika berpose bersama seorang guru yang mengatakan, "Ayo kita foto dengan gaya literasi." Pada saat itu, kami semua membuat tanda literasi dengan jari kami, meskipun sedikit sekali yang benar-benar berliterasi.