Akhir-akhir ini panggung politik Indonesia tidak pernah merana kesepian.Â
Masing-masing Partai melalui perwakilan mereka tampil berbicara dengan gagah perkasa.
Politikus-politikus muda bangkit bicara. Sedangkan politikus tua yang sudah dilengserkan angkat bicara sampai mulut berbusa-busa.
Mereka bicara tentang bangsa. Bangsa kita yang sekarang dan menurut mereka di masa depan.
Panggung politik bangsa kita tampak riuh oleh kritikan dan iming-iming politikus muda. Merasa berwibawa ketika kritikannya disambut dengan riuh tepuk tangan.
Apalagi ketika semburan hawa gagasan tentang hutang dan proyek pembangunan bangsa. Katanya pemerintah sekarang lupa wong cilik.
Tampil di panggung politik seakan-akan tua dan bijaksana, sudah lama makan garam di panggung menjalankan roda pemerintahan bangsa.
Tapi sayangnya, dunia transparansi bangsa ini tidak hanya bisa menghitung omongan sekarang, tetapi juga masa lalu dengan tren rekam jejaknya.
Apa sih rekam jejak politisi muda yang suka berkoar kritikan?
Itulah panggung politik. Tampil sesekali tidak akan punya bias besar, jika tanpa kritik.Â
Panggung politik bangsa tidak akan hangat dan penuh dinamika, jika tanpa oposan dan ceplas ceplos gaya politikus muda.
Di negeri ini, orang bisa hidup ketika bisa memasuki panggung politik dengan kritikan pedas. Kalau dipikir-pikir sungguh tidak masuk akal.
Bagaimana bisa seorang rakyat jelata, yang tidak punya ijazah menuduh dan menuntut macam-macam presidennya sebagai yang tidak punya ijazah.
Orang yang belum pernah menjabat apa-apa, bisa bicara apa-apa saja seakan-akan semuanya mudah.
Itu juga yang namanya panggung politik dan orang-orang yang cari panggung.Â
Ledakan penghargaan dari subscribe dan like kini menjadikan begitu banyak orang termasuk politikus ingin bersanding dengan gaya antithesis dari pemerintah.
Terasa hawa panas dari kata yang tidak terkontrol seperti  gaya-gaya makian perlahan-lahan mulai muncul ke permukaan media.
Mereka membuat diri seakan paling rasional dan paling mampu berbicara apa saja.
Betapa panggung politik itu penuh noda. Berbohong di sana, kemarin dan lusa, seperti tidak ada ujungnya.Â
Kata dan pidato berapi-api di panggung politik, cuma akhirnya jadi bulli panjang.
Ya, kata-kata politikus muda itu terlalu cepat dari pengalamannya sendiri.Â
Resiko dari kata yang mendahului pengalaman dan kenyataan, menjadikan kata-kata yang berkobar di panggung politik itu murah dan beku seketika.
Pilihan untuk menjadi lebih tenang dengan tindakan nyata yang dekat dengan rakyat jelata mungkin jauh lebih efektif membangun brand politik zaman sekarang.
Tampil sederhana tanpa pamer kekayaan warisan orang tua, mungkin lebih mempesona dan memikat.
Berbicara sedikit dari kenyataan yang bisa dilihat orang, mungkin lebih menarik sebagai politikus muda.
Pada panggung politik itu, orang bisa saja saling mencederai dan bisa juga mencederai diri sendiri.Â
Mungkin lebih tampak bijak ala Gibran yang berbicara sedikit, tapi minta lihat sendiri kenyataan Solo sekarang.
Di panggung politik, sering orang terjebak menjatuhkan diri sendiri. Ketika senang mengatakan tentang diri sendiri dan mengabaikan orang-orang lain yang berjasa di negeri ini.
Panggung politik negeri ini punya dua sisi. Tepukan tangan sorak sorai, itu tidak selamanya bahwa apa yang dikatakan itu benar dan berisi.Â
Diam dan begitu sunyi tanpa riuh sambutan itu juga bukan berarti kalah pengaruhnya.
Masyarakat cerdas semakin banyak
Mereka mencermati tidak hanya sepotong kata yang diucapkan kemarin tanpa ada hubungan dengan katanya di hari ini dan nanti.
Mereka punya kompetensi merangkai kata-kata dari waktu ke waktu hingga menemukan benang merah sebuah konsistensi.
Konsistensi yang tidak hanya berhenti pada kesinambungan kata-kata sejak kemarin, hari ini dan nanti, tetapi ada meta konsistensi.
Kesinambungan kata dari waktu ke waktu hingga terbukti dalam perilaku. Kesinambungan kata yang telah berubah menjadi kenyataan yang bisa disentuh.
Panggung politik itu bukan cuma soal kata-kata dan bermain kata. Pencari panggung mestinya tahu itu. Mereka mesti bisa mengubah kata menjadi hidup.
Mereka perlu menunjukkan kata yang telah berubah jadi kenyataan, bukan di depan orang-orang buta, tetapi di depan orang-orang berkacamata.Â
Dari mereka yang berkacamata, panggung politik akan ditinjau dari aneka sudut pandang. Di sana ada lensa politik dan kepentingan partai.
Di sana ada lensa cekung berupa sudut pandang dari wong cilik yang hampir tidak punya peluang untuk bermain-main di panggung politik.
Di sana ada pula lensa cembung yang bisa melihat dan menilai segala segala sesuatu sambil membesar-besarkan apa yang bukan sebenarnya.
Panggung politik itu penuh sandiwara
Sandiwara anak pejabat. Sandiwara orang yang tampil seakan-akan pandai bicara, yang diundang ke mana-mana.Â
Sandiwara ingin jadi presiden sejak usia masih muda. Sandiwara yang tidak masuk akal, mana ada anak presiden otomatis jadi presiden pula.
Panggung politik di negeri ini tidak semudah panggung acara pesta kondangan.Â
Di sana riuh dengan saweran kepentingan masa depan. Orang bicara seakan-akan semuanya mudah kalau kekuasaan itu ada padanya.
Tidak semudah membalikan telapak tangan. Tidak semudah orang-orang muda yang berbicara tanpa pengalaman.
Tidak mudah meraih kursi-kursi untuk duduk di sana.
Salam berbagi, ino, 21.03.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H