1. Masyarakat perlu mengubah pola makan
Pola hidup masyarakat tentu ada hubungannya dengan pola makan. Apalagi ketika kita berbicara tentang krisis yang diambang pintu, maka konteks itu tampak sangat erat hubungannya dengan pola hidup dan pola makan.
Masyarakat Indonesia seluruhnya dan masyarakat Flores khususnya saat ini perlu melihat lebih jauh lagi dan melakukan langkah-langkah strategis untuk mencapai zona nyaman.
Praktisnya seperti ini, jika di masa jaya, kita makan nasi tiga kali sehari, maka saat ini pola makan kita perlu diubah, sehari misalnya makan nasi cuma sekali.Â
Dua kali makan umbi-umbian. Mengapa tidak bisa? Orang Eropa itu bisa, kenapa kita tidak bisa? Pengalaman tahun lalu 3 hari di Italia, sarapan pagi mereka sangat sederhana.
Coba bayangkan makan biskuit roma dan kopi. Begitu sederhananya, padahal ekonomi negara mereka lumayan bagus. Nah, mengapa kita tidak bisa mengubah pola makan kita?
Pernah saya bertanya kepada orang-orang di kampung. Jawaban mereka, "Ya, kami sarapan pagi makan nasi, karena kami nantinya bekerja keras, kalau orang di kota yang makan segitu gak apa-apa karena kerjanya di tempat teduh saja."
Konsep seperti itu mungkin perlu dipikirkan lagi. Konsep sehari makan nasi itu bukan dalam arti membatasi makan nasi, tetapi supaya persediaan beras tetap mencukupi karena kita memanfaatkan sumber makanan yang lainnya.
Beranikah masyarakat kita mencoba hidup dengan pola makan yang baru seperti ini, sarapan berupa singkong, pisang rebus, ubi talas dengan kopi.Â
Siang hari baru ada makan nasi dan sayur-sayuran, daging. Sedangkan malam kembali lagi seperti pagi, jika ada sisa dari makanan pada siang hari, maka bisa dimakan lagi pada saat malam.