Batasan usia anak tidak akan mengubah anak menjadi dewasa dalam cara berpikir dan bertindak, sebaliknya hanya dengan pendampingan dan pembinaan yang intensif anak akan bertumbuh menjadi dewasa | Ino Sigaze.
Isu dan juga kenyataan beredarnya video-video terkait penjualan organ tubuh manusia yang begitu mahal itu telah menjadikan suasana kehidupan ini mencekam.
Beberapa waktu lalu sempat beredar pula video aksi penculikan anak dengan konsekuensi penculiknya dibakar hidup-hidup; ada pula yang digebukin dan ternyata tidak hanya itu, anak di bawah umur yang dilindungi oleh batasan hukum juga ikut melakukan tindakan pelecehan dan juga kekerasan.
Tentu saja situasi ini menjadi tantangan baru bagi bangsa ini. Memang benar orang langsung bertanya pertama-tama itu bagaimana hukum yang mengatur terkait perlindungan anak di Indonesia.
Hukum kita memang ada dan telah mengaturnya secara jelas  dalam UU RI No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, namun tidak bisa dipungkiri bahwa batasan hukum itu tidak bisa memberikan dampak otomatis pada perkembangan dan cara berpikir anak-anak, bahkan belum tentu bisa mengubah mereka secara cepat.
Apalagi ketika anak-anak tahu bahwa mereka dilindungi oleh Undang-undang cuma dari faktor usia sejak dalam kandungan ibu sampai sebelum 18 tahun.
Mungkin pasal hukum itu yang perlu direvisi, bahkan jika direvisi pun belum tentu akan mendatangkan efek jera kepada anak-anak kita. Nah, apa yang penting dilakukan saat ini?
Ada 4 perspektif yang mungkin bisa membuka wawasan terkait kerumitan situasi keterlibatan anak-anak dalam kejahatan dan pelecehan:
1. Revisi pasal hukum boleh saja, cuma perlu diperjelas soal kemampuan dan pemahaman pada usia anak itu
Alasan bahwa anak itu tidak tahu dalam melakukan aksi penjualan organ tubuh dan pelecehan dan lain-lain yang melanggar hukum tentu saja merupakan argumen yang lemah.
Mengapa saya mengatakan argumen itu lemah? Karena kita belum tahu bagaimana perkembangan wawasan dan dunia pergaulan anak di usia 12-17 tahun itu.
Bisa jadi anak pada usia itu mereka sudah sangat bebas mengakses segala informasi di media sosial. Jadi, sebenarnya dari usia mereka memang usia yang dilindungi oleh hukum, tetapi dari segi wawasan mereka tentu saja sudah sangat dewasa.
Mereka sudah tahu bagaimana mengubah sesuatu hingga menjadi uang. Inilah bukti kedewasaan cara berpikir anak.Â
Oleh karena itu, di zaman ini mungkin batasan usia itu pada pasal hukum itu tidak muluk-muluk saja, tetapi di pasal hukum perlu ada tambahan penjelasan bahwa perlunya penyelidikan terkait dunia sosial media dari pelaku yang masih dikategorikan sebagai anak.
Kalau dunia pergaulannya adalah dunia orang dewasa, maka tindakan hukum semestinya tidak perlu dilema, karena bukan soal jumlah usianya, tetapi kemampuan berpikir dan wawasannya yang menjadikan dia seperti itu.
2. Tantangan baru terkait peran orangtua bagi batasan kemampuan pergaulan pada usia anak dan bebas searching
Saya percaya bahwa dampak dari tindakan yang tidak terhormat dari anak-anak itu karena lingkungan pergaulan dan dunia searching mereka yang bebas dan tidak diperhatikan oleh orangtua mereka.
Wajar kalau orang tua bersalah dalam hal ini. Tentu saja penelitian bisa dibuat untuk menemukan bukti argumen yang objektif.Â
Seberapa besar potensi kejahatan pada anak yang dilepas bebas saja oleh orangtua mereka dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di rumah di bawah asuhan dan pendidikan informal orang tua.
Tentu saja pasti beda hasilnya, bahkan bisa saja ditemukan perbedaan presentasi yang sangat besar. Kemungkinan yang bisa muncul yakni bahwa potensi kejahatan itu akan sangat besar bagi anak-anak yang dalam lingkup pergaulan bebas tanpa pantauan orang tua mereka.
Asumsi ini tidak bermaksud pertama-tama untuk menyudutkan orang tua, tetapi lebih-lebih supaya tema tentang tanggung jawab pendidikan anak mesti disoroti secara serius di tengah era kemajuan komunikasi digital saat ini.
Tanpa ada keseriusan orangtua dalam lingkup pendidikan informal dan pendidikan formal bagi para guru untuk memikirkan kerangka pendidikan dan pendampingan anak, maka revisi hukum dalam bentuk apa saja, pasti gak ada pengaruhnya.
3. Tantangan kurikulum merdeka
Kenyataan sosial keterlibatan anak-anak dalam tindakan kejahatan dan pelecehan membawa saya kepada pertanyaan serius, apakah andil dari kurikulum merdeka terkait persoalan ini?
Masih bisakah kita mengatakan, "Hai anak-anak jangan lakukan itu ya, karena itu tidak baik, selanjutnya kami hanya bisa memberikan pesan dan kalian sendiri yang menentukan."
Saya yakin pola nasihat seperti itu, tentu saja tidak cukup lagi. Oleh karena itu, mungkin kurikulum merdeka tetap saja ada, namun dengan aksen khusus sesuai perkembangan zaman saat ini.
Katakan saja, pelajaran tentang dewasa berpikir dan moral tindakan pribadi itu harus menjadi mata pelajaran yang perlu lebih intensif diberikan, mungkin wajib diberikan.Â
Pertanyaan kita, mungkinkah hal seperti itu mendapat perhatian guru-guru di sekolah dan orangtua di rumah?Â
Semakin para guru dan orangtua menyadari pentingnya kedewasaan berpikir dan kesadaran moral dalam setiap tindakan anak-anak, maka tentu saja semakin baik.
Nah, bagaimana dengan anak-anak yang tidak lagi berada di bawah bimbingan orang tua mereka karena situasi rumah tangga seperti KDRT dan juga yang tidak lagi berada di bangku pendidikan?
Saya pikir pemerintah perlu punya seperti sebuah panti pembinaan bagi anak-anak dalam kategori seperti itu. Bisa saja kasus-kasus aktual saat ini muncul dari kategori anak dalam kelompok yang terlepas dari perhatian orang tua mereka.
Di dalam panti pembinaan itu bukan saja ditargetkan untuk anak-anak yang sudah terjerat masalah, tetapi di sana lebih sebagai panti pembinaan dan pembentukan karakter dan moral mereka.
Kasihan kalau tanpa cara seperti itu, siapa lagi yang bisa merangkul mereka? Mungkinkah pemerintah punya perhatian sampai ke arah seperti itu?
Pada merekalah masa depan bangsa ini. Apa yang bisa kita lakukan untuk mereka saat ini, tentu saja akan berdampak pada citra bangsa kita di masa yang akan datang.
4. Solusi apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah, orangtua dan guru?
Saya tertarik dengan apa yang terjadi di Jerman secara khusus tentang konsep internet rumah. Rancangan internet rumah itu sudah disetting sedemikian dengan pembatasan akses-akses link yang dianggap tidak cocok untuk anak-anak, seperti pornografi dan kekerasan.
Saya pikir cara pengaturan sistem internet rumah itu sangat bagus, tidak hanya di rumah tetapi di sekolah dan bahkan orang tua perlu mengatur settingan handphone anaknya, agar bebas dari peluang searching bebas itu.
Bagaimana dengan orangtua yang tidak tahu apa-apa tentang internet dan urusan media sosial? Nah, itulah peran yang mesti diambil alih oleh guru-guru di sekolah.
Pokok pikiran ini tidak bermaksud merampas kebebasan anak lho, tetapi dalam rangka mengarahkan anak kepada jalan yang benar di tengah arus kebebasan informasi di sosial media saat ini.
Tanpa solusi seperti pembatasan akses searching bebas, maka potensi yang dicemaskan saat ini pasti tetap saja akan menjadi konsumsi media yang semakin aneh terdengar di telinga siapa saja.
Salam berbagi, ino, 28.01.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H