Pernah ingin saya menghapus itu semua, sehingga yang terlihat cuma perfekt yang terpilih semuanya. Namun, ketika saya mempertimbangkan lagi, saya menyadari bahwa itu hal yang keliru.
Pada saat itu, saya belajar menerima diri sendiri. Saya harus bisa menerima bahwa kenyataan tulisan saya yang tidak berkualitas itu ada. Dan itu saya simpan sebagai kenangan, karena dari artikel-artikel itu saya akhirnya punya cerita tentang mengapa tidak dipilih?
Di sana ada artikel yang tidak diberi label pilihan karena dari segi isi yang tidak cukup bergizi. Mungkin juga badan tulisan saya seperti busung lapar, kurang vitamin.
Bahkan ada juga cerita unik lainnya pernah ada artikel yang sudah dipilih, kemudian dicabut lagi labelnya karena melanggar tata etika Kompasiana.Â
Semua itu saya terima sebagai pelajaran yang berarti, apalagi 2 tahun lalu, Kompasiana masih begitu banyak kata kunci yang dipasang, sehingga kalau terkena kata-kata itu, maka artikel itu otomatis hilang dan diberikan peringatan.
Terima saja tanpa tahu kata apa yang terlarang. Dalam perjalanan waktu, rupanya Kompasiana juga membaharui sistemnya sehingga menjadi lebih baik dan profesional seperti sekarang ini.
Bukan soal kata, tetapi soal konteks penggunaan kata yang perlu dipahami.Â
Badai ketakutan itu belum berlalu karena kata teman-teman kalau berkali-kali plagiat dan melakukan kesalahan, maka akun akan diblokir. Saya akhirnya sadar juga bahwa perlu punya prinsip dalam menulis.
Cara terbaik untuk menghindari perangkap mesin uji plagiat sebenarnya sederhana, menulis dari pikiran sendiri. Dari situlah saya tidak pernah takut bahwa artikel saya masuk ke dalam mesin uji plagiarisme, karena tulisan asli dari pengalaman dan cara pikir sendiri.
Menuangkan apa yang saya pikirkan dengan kekhasan kata-kata saya sendiri tentu saja tidak akan menjadi sama persis seperti tulisan orang lain.
Dilema menulis dan K-Rewards
Pada suatu waktu, saya berada dalam satu dilema karena terasa ada gelombang memburu K-Rewards di Kompasiana itu kencang goyangannya.
Saat itu saya menulis artikel tentang "Menulis tanpa mengejar uang," Artikel itu diberi label Artikel Utama saat itu. Padahal gagasan saya sederhana, menulis dengan motivasi berbagi inspirasi dan hal-hal positif lainnya itu jauh lebih penting, daripada menulis supaya dapat uang pada akhir bulan, itu prinsip saya waktu itu.
Saya tidak merasa iri hati ketika membaca pengumuman teman-teman yang pada saat itu sampai 7 juta per orang. Entah kenapa, saya menyadari bahwa motivasi menulis tidak boleh digusur oleh keinginan untuk mendapatkan uang, karena saya sudah punya penghasilan dari hasil kerja saya.