Di tengah awan kelam tersingkap tirai cahaya. Gugusan awan hitam berlari ke barat dengan langkah yang tak dilihat.
Begitu cepat pergi dan menghilang, membaur dengan awan-awan lain yang tidak ingin namanya dikenal.
Awan hanya sebuah nama di kelopak langit yang berubah-ubah warna, kadang cerah, kadang abu-abu hitam.
Sekejap pejamkan mata, tampak di depan jendela yang tertutup rapat, dua kursi kosong di bawahnya.Â
Mata terpana pada dinding putih berhiaskan dua kursi kosong di depannya.Â
Kenapa harus ada kursi kosong? Sedens vacant tak pernah purna.
Ada waktunya yang kosong diisi oleh orang-orang yang tidak dikenal. Siap atau tidak semua akan berjalan sesuai rencananya.
Seorang pria tua dengan sengaja meletakkan topi koboi di atas kursi sebelah kanan. Ia duduk cuma 10 menit lalu pergi meninggal topi di kursi sebelahnya.Â
Saya hanya berpikir, pria tua itu seorang pelupa. Ia bisa meninggalkan topinya tanpa tahu kapan harus mengambilnya kembali.
Pada kursi kosong itu tergeletak sebuah topi dari pria tua yang barusan dipanggil dokter gigi ke ruang sebelahnya.
Apa sengaja dilakukannya? Kali ini giliran saya yang lupa bertanya, "mengapa sengaja meninggalkan topi pada kursi kosong itu?"
Saya tidak kecewa karena lupa bertanya. Pada sisi yang lainnya, saya senang bahwa saya menyadari bahwa ada yang saya lupa.
Dari yang saya lupa, saya tahu bahwa semua orang bisa lupa tak peduli berapa usianya. Cetus seorang profesor di meja ketika saya lupa ingat tentang nama seseorang, "Ah ha..ternyata saya tidak sendiri saudaraku."
Dengan senyum dan tertawa dia katakan itu, bahwa lupa bukan saja milik seorang tua yang berusia 65 tahun, tapi juga bisa diusia muda.
Kursi kosong apa itu mungkin karena orang lupa mendudukinya? Saya kira tidak. Ada banyak sistem dan struktur yang mengatur segala sesuatu, sehingga ada sesi di mana ada kekosongan.
Bayangan kekosongan dan kekosongan selalu menjadi momen perbincangan, tentu saja bukan cuma soal pria tua yang lupa topinya di sana.
Ruangan sepi, cuma sedikit perawat gigi yang mondar mandir tanpa menyapa dan bertanya mesti janjian sudah tidak sesuai waktunya.
Apakah mereka lupa bahwa saya punya janjian pukul 14.45? Menunggu di depan kursi kosong, buat pikiran jadi kosong.
Dari pada pikiran kosong, mendingan tulis saja tentang kursi kosong. Â Kadang orang bertanya mengapa ideku kosong, maksudnya tidak ada ide untuk menulis.
Mestinya orang bisa menulis mulai dari kesulitan yang sedang dihadapinya. Di ruang kosong saya tidak pernah melihat kekosongan, apalagi ketika ada jendela transparan.
Pandangan mata akan menembus jendela dan melampaui bingkai-bingkainya. Di sana ada awan yang menanti setiap orang.
Awan menunggu kesempatan pembaca-pembaca bebas untuk menulis tentangnya.Â
Entahkah bisa dihubungkan dengan kursi kosong, ya tentu saja. Siapa yang mau menghubungkannya, maka akan ada hubungan antara keduanya.
Tapi hubungan logis dalam kata-kata, tidak selalu gampang. Orang mulai dengan mencerna kata, pesan dan maknanya.
Menulis bebas dari letupan kata hati itu mungkin kuncinya, agar tidak ada ketakutan saat menabur kata-kata.Â
Kata kursi kosong sedang menunggu interpretasi tanpa menyalahkan siapa-siapa. Orang hanya bisa bertanya siapa pemiliknya? Mengapa tidak ada orang di sana?
Tak ada tuduhan dan celaan. Jangan berhenti menabur kata kati setiap hari, itu titipan kata hati saya hari ini.
Kata hati yang membesarkan rasa percaya diri orang lain. Kata hati yang membangkitkan gairah berkreasi secara positif.Â
Kata hati yang memberi energi dalam barisan tulisan setiap hari. Kata hati tentang kekaguman yang jujur pada karya sesamamu. Kata hati tentang syukur atas hidupmu sendiri.
Â
 Salam berbagi, ino, 13, 01.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H