Kegentingan global bisa menjadi alasan munculnya fenomena "pengemis online". Kita perlu mengkajinya dengan prinsip-prinsip untuk bertahan hidup di era digital | Ino Sigaze
Tema sorotan Kompasiana kali ini memang sangat menggelitik nalar karena bersentuhan dengan istilah-istilah baru yang mungkin saja bisa semakin menyudutkan mereka yang tengah berjuang untuk bertahan hidup di tengah resesi global ini.
Istilah baru tanpa penjelasan dan interpretasi yang seimbang bisa saja menjadi polemik baru, cuma sayangnya mereka yang diistilahkan itu bisa saja orang-orang yang jauh dari argumentasi dan pembelaan diri mereka.
Meskipun demikian, kita tidak bisa juga menghindar dari kenyataan yang terjadi saat ini bahwa ada fenomena pengemis online. Apakah ada nama lain yang lebih diterima?Â
Pada prinsipnya istilah "pengemis online" tidak bermaksud untuk menghina mereka yang mengemis, tetapi lebih kepada membaca fenomena itu sambil menawarkan solusi alternatif yang membantu perspektif mereka.
Andaikan ada suatu kesempatan wawancara langsung tentang mengapa mereka melakukan itu, mungkin di sana akan ada tangisan. Tangisan karena merasakan betapa pahitnya perjuangan hidup seorang ibu misalnya untuk menghidupi putrinya yang masih kecil dan lain sebagainya.
Tapi juga mungkin ada yang merasa paling untung dari cara kerja seperti menjadi pengemis online. Itulah kenyataan yang mesti dikaji lebih jauh lagi.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi penggunaan istilah "mengemis online" tetapi lebih menyoroti soal kegentingan global saat ini yang semakin bringas memperlihatkan taring kelaparan dan kehausannya pada satu sisi dan sesi perjuangan sebagian orang yang mungkin terkena dampaknya seperti para pengemis online.
Kegentingan global
Saya tertarik untuk mendalami apa arti dari "kegentingan global" yang disampaikan Presiden Jokowi (Republika, 11/01/2023). Dalam sambutan itu, Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memiliki perasaan yang sama di tengah kegentingan global.
Memiliki perasaan yang sama tentu saja menjadi kata-kata kunci di tengah kondisi kegentingan global. Memiliki perasaan yang sama dimaksudkan Jokowi lebih dalam arti seluruh rakyat Indonesia memiliki cara pandang yang positif bahwa kegentingan global itu bukan saja membahayakan negara-negara lainnya, tetapi tentu saja Indonesia juga.
Dalam alur kesadaran yang sama itu, masyarakat Indonesia tentu bisa memaknainya tidak hanya dengan perspektif semata, tetapi mungkin juga sangat penting dibutuhkan mentalitas kewaspadaan (Wachsamkeit).
Ada tiga makna dari kesadaran yang sama di tengah kegentingan global:
1. Jangan menghakimi negeri sendiri seakan yang paling terpuruk dari negara-negara lain
Segelintir orang masih saja menilai bahwa Indonesia terpuruk, bahkan tidak ada kemajuan dan lain sebagainya. Padahal jelas-jelas dunia mengakui kestabilan ekonomi Indonesia saat ini.
Meskipun demikian, Jokowi tidak juga lalu seakan berada di atas angin membanggakan keberhasilan kinerjanya, tetapi tetap dengan bijak mewanti-wanti bahwa Indonesia juga berada dalam kegentingan global.
Warning Jokowi itu saja merupakan bagian dari peringatan dini yang menjadikan pemerintah dan rakyat seluruhnya menjadi bijak dalam menata ekonomi mulai dari yang terkecil ekonomi rumah tangga, sampai ke yang terbesar anggaran belanja negara.
Coba kita cermati pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani baru-baru ini, ada tiga negara dari kawasan Asia yang sudah menjadi pasien IMF, yakni Bangladesh, Sri Lanka dan Pakistan (9/01/2023).
2. Kesadaran yang sama berarti suatu gerakan bersama untuk kemandirian ekonomi bangsa
Kesadaran yang sama saat ini perlu diwujudkan menjadi lebih konkret dalam langkah-langkah pengembangan UMKM.Â
Menjadi pelaku UMKM di desa-desa misalnya tentu saja menjadi jawaban konkret dari aplikasi tentang kesadaran yang sama tentang kegentingan global.
Mengapa demikian? Soalnya jika rakyat Indonesia hanya berhenti pada kesadaran tentang masalah kegentingan global tanpa mewujudnyatakan gagasan-gagasan kemandirian, maka sebenarnya kesadaran itu belum efektif diarahkan kepada sasaran yang sebenarnya.
Jadi, paling penting saat ini bukan menuduh pemerintah, tetapi bertanya diri apa yang bisa lakukan sekarang agar ekonomi Indonesia tidak terpuruk oleh terpaan resesi global.
3. Kesadaran yang sama berarti juga solidaritas dengan yang sedang berjuang
Fenomena seperti mengemis online bisa saja menjadi satu satu usaha kreatif yang belum diarahkan secara benar. Bisa saja menjadi pengemis online itu muncul karena mereka tidak tahu lagi, apa yang pantas dilakukan saat ini.
Dalam keterjepitan ekonomi, orang bisa lakukan apa saja. Nah, tentu hal itu perlu dikritisi dengan bijak. Menjadi pengemis online tentu saja menjadi fenomena yang perlu dijelaskan secara adil dan benar.
Bahkan sejauh mungkin pelaku bisnis online sampai ke fenomena menjadi pengemis online itu perlu ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang penting.
Prediksi lembaga global dalam lensa perspektif Sri Mulyani
Sri Mulyani memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan terus mengupayakan langkah untuk meningkatkan kewaspadaan di tahun 2023 ini.Â
Kewaspadaan ini secara nyata bersentuhan dengan cara pengelolaan kesehatan fiskal, yang bisa dilakukan dengan cara tetap konsisten menjaga defisit APBN di level rendah, yaitu di bawah 3 % dari produk domestik bruto (PDM).
Informasi penting yang disampaikan Menteri Keuangan terkait dengan kewaspadaan itu yakni bahwa kita tidak hanya berhadapan dengan inflasi, tetapi juga terkait dengan kemungkinan resesi.
Selanjutnya baru-baru ini, Jokowi dengan lebih detail membeberkan situasi kegentingan global saat ini. Kegentingan global itu tidak hanya karena resesi global, inflasi, resesi keuangan, perang, tetapi juga karena krisis pangan, krisis gas (Indonesia Pusaka, 11/01/2023).
Hidup terus dipertahankan, tanpa meredusir nilai-nilai tubuh manusia, mungkinkah?
Komersialisasi tubuh tidak menjadi pilihan yang pantas di tengah kegentingan global tentunya. Oleh karena itu, langkah dan gerak cepat pemerintah mungkin sangat diperlukan saat ini, bagaimana membuka kemungkinan pekerjaan bagi pengemis online untuk beralih ke pekerjaan lain yang lebih berlandaskan pada nilai kemanusiaan.
Kesadaran yang sama tentu saja kita tidak hanya merasa hina dan jijik dengan cara-cara hidup seperti itu, tetapi dari sudut pandang yang lain kita dipanggil untuk merasakan kegentingan yang mereka rasakan saat ini sampai menjual tubuh mereka, lalu memikirkan bagaimana caranya mengatasi fenomena itu.
Adakah cara lain yang lebih bermartabat untuk melanjutkan hidup ini? Solidaritas apa yang bisa diberikan untuk para pengemis online? Tentu saja hal itu menjadi tantangan berat pemerintah saat ini.
Hidup harus dipertahankan, tanpa meredusir nilai-nilai tubuh manusia. Nilai tubuh tentu saja dalam pandangan agama-agama sangat penting.
Tubuh adalah bait yang mulia dan suci. Tubuh adalah rumah dari hati nurani, yang menjadi inti dan pusat dari adanya manusia. Bahkan tubuh itu adalah tempat diam dari yang Suci, sang Singgasana.
Pertanyaan kritis untuk dikaji bersama
Adakah kita punya perasaan yang sama tentang kehormatan tubuh manusia? Mungkinkah langkah pemblokiran jaringan online yang mengarah kepada komersialisasi tubuh?
Hanya pemerintah dan menteri komunikasi yang mungkin bisa menjawab tantangan ini. Adakah peluang dan kreativitas lain yang lebih layak dan bermartabat untuk para pengemis online.Â
Apakah menjadi pengemis online itu adalah langkah satu-satu nya? Ataukah sebagian orang melihat pilihan menjadi pengemis online itu sebagai jalan mudah untuk memperoleh uang?
Penelitian dan kajian yang lebih serius terkait fenomena pengemis online perlu dilakukan, supaya hal-hal seperti komersialisasi tubuh tidak dilakukan atas nama kegentingan global, resesi, inflasi dan krisis pangan saat ini.
Salam berbagi, ino, 13.01.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H