Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Ende Sare, Paradoks Logo Kabupaten Ende dan Kenyataannya

14 Desember 2022   16:29 Diperbarui: 14 Desember 2022   16:40 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ende Sare, paradoks Logo Kabupaten Ende dan Kenyataanya | Dokumen diambil dari de.m.wikipedia.org

Setiap institusi, organisasi, perkumpulan yang lebih dari beberapa orang pasti punya logo dan simbol-simbol tertentu. Logo itu mengungkapkan visi yang mau dicapai.

Kenyataan logo yang didesain pasca kemerdekaan Indonesia selalu punya ciri yang hampir sama. Simbol-simbol di dalam logo itu pasti tidak jauh berbeda dengan simbol-simbol yang ada dalam sila-sila Pancasila.

Mungkin sudah saatnya harus ada reformasi pemahaman bahwa logo daerah itu perlu membawa ciri kedaerahan. Nah, dari sudut pandang wawasan kedaerahan itu, akan terlihat betapa tingginya nilai pluralitas yang ada di negeri ini.

Kalau lebih jeli lagi melihat logo daerah dan mengkritisinya, maka bisa jadi logo daerah itu bisa saja sudah "kadaluarsa". Artinya, logo daerah itu mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan zamannya.

Kalau anak bangsa Indonesia mengenal era orde baru, era reformasi sebagai ungkapan dari dinamika kehidupan berbangsa ini, mengapa era baru sudah menjadi saat sekarang ini, tetapi kita masih menjunjung logo yang lama?

Pertanyaan kritis ini membawa saya ke konteks analisis lebih rinci terkait logo daerah Kabupaten Ende, di mana saya berasal. Ada 5 paradoks yang bisa dilihat dengan cepat:

1. Pohon beringin berwarna hitam

Pada prinsipnya jiwa dari pohon ini punya peran melindungi dan memberikan keteduhan. Artinya pemerintah daerah perlu punya jiwa yang memberikan keteduhan.

Baca juga: Rekam Jejak

Keteduhan kepada siapa? Hanya manusia kah? Nah, paradoksnya muncul di sini, ternyata pohon beringin itu sendiri bukan pohon yang dilindungi di Kabupaten Ende.

Kalau bukan pohon yang dilindungi mengapa dianggap penting sampai-sampai jadi simbol dalam logo Kabupaten Ende? Ada penebangan pohon beringin terjadi di sana, ya bahkan mungkin populasinya sangat menurun. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan pada spesies pohon beringin.

Tidak heran, oleh karena hilangnya kesadaran perlindungan itu, maka di wilayah kabupaten Ende kerap terjadi demonstrasi karena aparat negara di sana berurusan dengan pemilik tanah suku. 

Fungsi pohon beringin sebagai simbol dari keteduhan, hijau penuh harapan itu benar-benar belum disadari atau masih suram. Sejauhmana pemerintah dan aparat pemerintah menjadi pelindung masyarakat?

2. Padi dan kapas

Langsung keanehan itu begitu jelas terlihat: di mana ada perkebunan kapas di Kabupaten Ende? Tidak ada nyatanya, kalau ada pun, mungkin tidak berskala massal sebagai fokus dari pertanian di sana.

Kalau padi ya memang benar, di sana masih banyak petani yang menanam pagi, tetapi seberapa besar kepedulian pemerintah daerah kepada petani padi. 

Rupanya masih perlu menjadi bahan refleksi lanjutannya. Dari kenyataan itu, saya mengusulkan bahwa kapas itu bisa diganti dengan jagung dan umbi-umbian. 

Di sana memang banyak tumbuh di hutan itu umbi-umbian, yang jika diperhatikan secara serius melalui program pemerintah daerah, maka produktivitas pangan lokal Kabupaten Ende akan meningkat dan sudah pasti akan meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Memang logo itu sudah menggambarkan skala prioritas pemerintah Kabupaten Ende, sektor pertanian itu bukanlah sektor utama yang ada di sana, kalau dibandingkan dengan sektor pariwisata.

Mungkin perlu diubah, kenyataan umum menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian dan bukan dari pariwisata. 

Ada banyak sekali desa-desa yang masih masuk ke dalam kategori desa tertinggal dan semuanya mengandalkan pertanian sebagai sumber hidup mereka.

Mengapa pariwisata mesti ditempatkan di tengah dari logo itu sendiri? Sudah saatnya logo Kabupaten Ende diperbaharui sehingga bisa mengubah arah dan program pemerintah daerah Ende.

3. Danau kelimutu dengan lereng persawahan dan gunung meja

Danau Kelimutu memang aset wisata yang bisa diandalkan, namun itu hanya salah satu aset wisata yang berada di sebelah timur. Padahal ada pula wisata batu hijau di sebelah barat Kabupaten Ende yang sudah mendunia.

Dari situ, terlihat bahwa desain logo itu sudah tidak "menggigit" kenyataan terbaru tentang Ende dan perkembangannya sampai pada kekinian.

Semestinya ada gambar Kelimutu, gunung Ia, Meja dan Wongge dan deretan pantai yang indah dengan batu berwarna di sana. Mengapa tidak?

Eksotisme dari kabupaten Ende itu menjadi begitu beku dan kuno karena tidak ada reformasi wawasan tentang Ende yang hidup dalam dinamika yang semakin up to date.

Tidak hanya itu, kalau memang kita mengakui bahwa danau tiga warna Kelimutu itu akan menjadi sentral wisata di Kabupaten Ende, maka pertanyaanya, seperti apa promosi dan pembangunan di sana. 

Dari dulu sampai sekarang mungkin berubah hanya karena punya gapura, jalan yang beraspal, tetapi soal gema promosi dari Kabupaten Ende sendiri terasa masih lemah. Pernahkah "Ata Ende" berdiskusi tentang pengembangan wisata danau Kelimutu?

Bagaimana tentang pembangunan toilet di area danau Kelimutu dan penataan jalan menuju puncak Kelimutu? Adakah kemungkinan ditanam bunga-bunga yang dirawat oleh petugas pariwisata secara khusus di sana. 

Pokoknya, hal itu masih merupakan paradoks, karena pada logo ditempat sebagai sentral, sementara kenyataanya belum menjadi prioritas perhatian pemerintah daerah.

4. Soal warna dan latar belakang pada logo

Orang Ende memang menyukai warna-warna merah muda. Dulu sampai ada lagu, "ana pake lambu mera meko, ine bogo lewo" atau kritikan pada anak gadis yang mengenakan baju merah muda, tetapi menikah tanpa belis dan juga mungkin karena tidak mengenyam pendidikan yang cukup.

Cantik tapi tidak sekolah, itulah yang disayangkan dalam satu syair lagu tua itu. Sebuah kritik terkait fenomena putus sekolah di Kabupaten Ende di tahun 1980-an. 

Orang Ende atau "Ata Ende" mungkin akan menerima begitu saja soal warna pada logo itu. Akan tetapi, menurut saya, masih belum lengkap karena kabupaten Ende punya kekhasan tenun ikat yang banyak warnanya.

Ada lawo ponggo mangga, ada lawo nggela, lawo Ende itu nama dan jenis sarung ikat yang ada di sana. Kenyataan itu sudah menjadi kekhasan yang tidak bisa disangkal. Bahkan pegawai negeri sipil (PNS) mengenakan pakain seragam dengan motif-motif tenun adat.

Nah, mengapa kenyataan seperti itu tidak muncul dalam logo dan kita menjadikan itu sebagai simbol peradaban daerah kita? Tentu saja, keberagaman kreativitas itu bukan saja soal peradaban, tetapi soal seni dan soal cara berpikir serta basis ekonomi daerah.

Saya jadi ingat ada ungkapan tentang Ende seperti ini: Ende sare pawe, gaga rata atau Ende itu indah dan baik, menakjubkan.

5. Ende, kota pelajar

Sebutan Ende kota pelajar itu sudah terdengar sejak tahun 1990-an. Hal ini karena ada begitu banyak sekolah yang ada di sana. Mulai dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah Menengah Atas dan sederajat dan perguruan tinggi.

Sebuah kota kecil di jantung Flores terlihat riuh dengan aktivitas pelajar dan mahasiswa. Kala itu, universitas Flores adalah satu-satunya universitas yang ada di Flores. Tidak heran bahwa sebagian besar tamatan SMA sedaratan Flores menikmati pendidikan lanjut mereka di sana.

Hiruk pikuk di jalanan yang terlihat warna-warna seragam anak sekolah. Bemo-bemo kota dengan dentuman musik yang membara penuh gelora tidak pernah sepi dari kehadiran pelajar dan mahasiswa.

Jalur menuju Situs Bung Karno termasuk jalur yang ramai dikunjungi pelajar, anak sekolah dan mahasiswa. Ya, Ende semestinya tetap menjadi kota pelajar yang bisa semakin disadari dan ditingkatkan perannya oleh pemerintah Kabupaten Ende.

Pertanyaan kritis

1. Apakah mungkin pemerintah daerah Ende membaharui logonya dengan aksen refleksi yang lebih kontekstual?

2. Mungkinkah Ende lebih fokus pada sektor pertanian, wisata, kreativitas dan pendidikan?

3. Mampukah Ende mereformasi gagasan sehingga menjadi lebih harmonis hubungan kemasyarakatannya, hubungan dengan alam dan hubungan dengan kemajuan zaman yang kekinian?

Salam berbagi, ino, 14.12.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun