Cantik tapi tidak sekolah, itulah yang disayangkan dalam satu syair lagu tua itu. Sebuah kritik terkait fenomena putus sekolah di Kabupaten Ende di tahun 1980-an.Â
Orang Ende atau "Ata Ende" mungkin akan menerima begitu saja soal warna pada logo itu. Akan tetapi, menurut saya, masih belum lengkap karena kabupaten Ende punya kekhasan tenun ikat yang banyak warnanya.
Ada lawo ponggo mangga, ada lawo nggela, lawo Ende itu nama dan jenis sarung ikat yang ada di sana. Kenyataan itu sudah menjadi kekhasan yang tidak bisa disangkal. Bahkan pegawai negeri sipil (PNS) mengenakan pakain seragam dengan motif-motif tenun adat.
Nah, mengapa kenyataan seperti itu tidak muncul dalam logo dan kita menjadikan itu sebagai simbol peradaban daerah kita? Tentu saja, keberagaman kreativitas itu bukan saja soal peradaban, tetapi soal seni dan soal cara berpikir serta basis ekonomi daerah.
Saya jadi ingat ada ungkapan tentang Ende seperti ini: Ende sare pawe, gaga rata atau Ende itu indah dan baik, menakjubkan.
5. Ende, kota pelajar
Sebutan Ende kota pelajar itu sudah terdengar sejak tahun 1990-an. Hal ini karena ada begitu banyak sekolah yang ada di sana. Mulai dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah Menengah Atas dan sederajat dan perguruan tinggi.
Sebuah kota kecil di jantung Flores terlihat riuh dengan aktivitas pelajar dan mahasiswa. Kala itu, universitas Flores adalah satu-satunya universitas yang ada di Flores. Tidak heran bahwa sebagian besar tamatan SMA sedaratan Flores menikmati pendidikan lanjut mereka di sana.
Hiruk pikuk di jalanan yang terlihat warna-warna seragam anak sekolah. Bemo-bemo kota dengan dentuman musik yang membara penuh gelora tidak pernah sepi dari kehadiran pelajar dan mahasiswa.
Jalur menuju Situs Bung Karno termasuk jalur yang ramai dikunjungi pelajar, anak sekolah dan mahasiswa. Ya, Ende semestinya tetap menjadi kota pelajar yang bisa semakin disadari dan ditingkatkan perannya oleh pemerintah Kabupaten Ende.
Pertanyaan kritis