Memberikannya cinta dengan tatapan yang teduh dari kedalaman hati yang sepi dari ambisi akan selalu melahirkan bias positif berupa kedamaian, sukacita, gairah baru untuk maju dalam hidup | Ino Sigaze.
Tengah malam ketika diseret kesedihan pasca kekalahan Jerman melawan Jepang, lalu diperparah dengan sengatan dingin 3 derajat, saya coba membuka mata perlahan-lahan dan coba mengetuk pintu Kompasiana.Â
Saat itu saya melihat artikel dari penulis Kompasiana Ayra Amirah dengan judul cerpennya, "Aiseta dan bunga-bunga musim semi." Judul cerpen itu sekejap memotivasi saya untuk membacanya. Pada satu halaman, mata saya terhenti karena berjumpa dengan ungkapan ini, "memberikannya cinta dengan tatapan."Â
Saya menulis dalam kolom komentar untuk meminta izin dari mbak Ayra agar sepenggal kata itu bisa saya kutip dalam tulisan saya. Lama saya menunggu, namun rupanya mbak Ayra belum menjawab. Saya pun memberanikan diri mengutip dengan referensi nama Ayra Amirah sebagai penulisnya. Tapi, pagi ini saya sudah dapat izinannya. Terima kasih untuk Mbak Ayra Amirah.
Penggalan ungkapan itu begitu menyentuh hati saya, sampai terasa seperti merangkum kembali beberapa peristiwa dalam hidup saya. Mungkin lebih tepat kalau saya mengatakan kata-kata itu telah menyengat saya hingga saya pulang kembali kepada hari-hari lalu yang terlewatkan tanpa menyisakan kata yang bermakna.
"Memberikannya cinta dengan tatapan," saya mengangkatnya sebagai judul besar untuk saya refleksikan dengan latar belakang pengalaman pribadi di beberapa negara yang berbeda:
1. Perjumpaan dengan anak-anak Yahudi di dataran pegunungan Yudea, wilayah selatan kota Israel
Desember 2019, tepatnya di perkampungan di lereng pegunungan Yudea, saya merasakan bahwa di sana momen tentang "memberikannya cinta dengan tatapan."Â
Saat itu saya berjalan bersama seorang tour guide yang adalah seorang Israel suku Lewi. Tiba-tiba saja, ia berhenti di belakang tembok dan menunjukkan kepada saya bahwa di dalam rumah itu ada banyak anak-anak Yahudi yang dididik secara khusus sejak kecil.
Saat kami melihat mereka dari jeruji besi, anak-anak itu pun melihat dan Tour guide itu menyapa mereka dengan kata-kata dalam bahasa Ibrani.
Saya tidak bisa mengatakan apa-apa, mesti pernah sedikit belajar bahasa Ibrani. Saat itu saya benar-benar hanya bisa menatap, ya mungkin itulah kata yang tepat dari penulis Ayra Amirah, "memberikannya cinta dengan tatapan."Â
Tiba-tiba seorang anak dengan mata yang begitu bening itu tersenyum. Ia begitu lucu dan polos tampak dari balik jeruji itu. Dalam hati saya, hanya bisa ada harapan, "semoga mereka akan menjadi generasi yang bisa berdamai dengan semua."
2. Bertemu seorang penderita kanker otak di Roma
Di Roma, Italia pada 17 Mei 2022 lalu saya bertemu seorang Indonesia yang terkena kanker otak, pernah di operasi dan kemoterapi sampai berdampak pada suaranya menghilang.Â
Saat ia berbicara, tampak ia harus menarik nafas dalam-dalam. Ya, pada lehernya sudah dibor dan terlihat lubang yang menakutkan.Â
Saya terdiam saat dia kurang lebih 2 menit berbicara. Lalu, saya mengatakan, "maafkan saya, sebaiknya kamu jangan banyak bicara, karena terasa nafas sesak. Saya mengerti keadaanmu sekarang, tanpa perlu menjelaskannya.Â
Saat itulah kami berdua hanya terdiam dan saya hanya bisa "memberikannya cinta dengan tatapan." Saya mengerti bahwa dia merasakan pemberian saya, saat dia mengatakan, "terima kasih saudara sudah menguatkan saya."
Saat itu saya tidak sanggup lagi mau mengatakan apa. Keadaan itu membuat saya bisu dan hanya bisa menatap dengan harapan, "dia mengerti bahwa saya mendukungnya dengan sepotong doa, semoga sembuh nantinya."
3. Bertemu sang ibu yang divonis akan meninggal dua hari lagi di rumah sakit Ende, Flores, NTT
Berita tentang vonis dokter itu saya terima tanggal 13 Juli 2022. Hari itu juga saya terbang dari Jerman ke Indonesia. Selama perjalanan saya hanya bisa menatap wajah ibu pada gambar yang saya simpan. Sekitar 15 jam perjalanan dari Jerman, saya tiba di Jakarta.Â
Waktu itu 14 Juli 2022, saya menunggu di bandara Soekarno-Hatta untuk penerbangan ke Kupang selama 8 jam dengan keyakinan yang sama, semoga saya masih diberikan kesempatan untuk melihat wajah ibu terkasih.
Tepatnya jam 8.00 pagi hari saya berdiri di depan sang ibu dan menatapnya. Energi cinta sang anak diberikan untuk sang ibu yang lesu dan lemah di tempat tidur itu.Â
Beberapa jam kemudian kami harus membawa ibu kembali ke rumah. Tiga kali berhenti di tengah jalan, membuat saya lagi-lagi bisu tanpa kata. Di sana kami anak-anaknya hanya "memberikannya cinta dengan tatapan."Â
Selama dua bulan saya tinggal bersamanya, ibuku semakin sehat dan punya harapan sembuh dari kanker pada usus yang katanya sekitar 15 cm besar ukurannya. Ya, cinta bisa mengubah segalanya.Â
4. Bertemu Rodrigues, bayi yang harus pisah dari ibunya di Ende, Flores, NTT
Pada akhir Juli 2022 saya bertemu Rodrigues (bukan nama sebenarnya), bayi kecil berumur 4 bulan. Bayi pilihan dari hasil hubungan terlarang antara seorang pejabat negara dan perempuan Flores di kota Karang.Â
Bayi itu diasuh oleh seorang teman saya. Beberapa bulan terakhir kami sudah sering berdiskusi tentang pilihan mengadopsi anak yang hasil dari cinta terlarang itu.
Pertama bertemunya, saya hanya memanggil namanya dengan rasa haru. "Kamu bukan lagi anak buangan, tapi anak pilihan yang terhormat," itu kata hati kecil saya. Tak sanggup berkata-kata, saya hanya "memberikannya cinta dengan tatapan." Bayi kecil itu tersenyum dan mengangkat tangan.Â
Mungkin ia merasakan ada aliran cinta yang hangat pada tubuh, jiwa dan masa depannya. Senyumannya adalah juga pemberian cinta dengan tatapan dan senyuman.
 5. Dalam tugas pelayanan, saat berjumpa orang-orang sakit di Jerman
Setiap hari kerja, saya pasti menjumpai orang-orang sakit yang tertidur di tempat tidur tanpa kata-kata. Apa yang bisa saya lakukan? Harus menghibur mereka? Dengan cara apa saya perlu menghibur mereka?
Cukup sering hanya doa dalam keheningan di kamar itu dan satu hal yang tidak pernah terlupakan adalah "memberikannya cinta dengan tatapan." Semoga Tuhan melindungi dan memberkati hidupmu hari ini.
Ada yang berusaha memegang tangan dan ada yang sekejap menutup mata mereka. Hadir bersama dalam ketidakberdayaan mereka, mungkin sudah tidak membutuhkan lagi banyak kata-kata, tetapi cukuplah sebuah tatapan dari kedalaman hati yang berlimpah empati dan cinta.
Cerita dan refleksi singkat dalam setiap perjumpaan pribadi dengan orang lain di berbagai tempat dan negara itu memberikan  saya gagasan tentang beberapa hal ini:
Ada saatnya dalam hidup ini, dimana bantuan fisik terasa sudah tidak berdaya, pada saat-saat ketika orang tidak sanggup bicara, mungkin perlu "memberikannya cinta dengan tatapan."
Kronologi tentang perjumpaan saat ini akhirnya membawa saya pulang kembali ke pangkuan sang ibu. Bukan cuma dengan asi, ia memberiku cinta, tapi juga dengan tatapan setiap hari.Â
Sebuah tatapan cinta yang mengubah raga hingga merasakan kehangatan kasih sang ibu. Sebuah tatapan yang menggerakan bibirku untuk tersenyum, sebuah tatapan yang mengajak aku juga memberi cinta pada ibu dengan tatapan dan senyum bisu. Sebuah tatapan yang melahirkan kata-kata hingga gelak tawa sukacita bersama sang ibu. Tersisa pertanyaan: Seberapa sering kita menatap wajah ibu kita untuk memberikannya cinta dengan tatapan?
Memberikannya cinta dengan tatapan adalah metode pendidikan yang sering dilupakan banyak orang. Dalam perspektif dari sang guru, di sana ada tatapan cinta yang menegur, tapi juga ada tatapan yang merampas kebebasan anak-anak murid dan tentu saja ada tatapan yang memberikan semangat dan motivasi untuk terus maju. Selamat hari Guru.
Salam berbagi, ino, 25.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H