Jangan mengupas kesalahan sesamamu, saat engkau benar-benar marah. Kematangan berpikir seseorang tidak lagi maksimal dalam keadaan marah | Ino Sigaze.
"Nobody is perfect," umumnya orang sudah pernah mendengar ungkapan itu.Â
Kebanyakan ungkapan "Nobody is perfect," terdengar ketika orang berbicara tentang kekurangan orang lain atau kekurangan institusi yang ditangani seseorang.
Apa maksudnya jika ada jawaban seperti "Nobody is perfect"?Â
Nah, saya pernah punya pengalaman terkait jawaban "Nobody is perfect,"yang membuat saya membisu saat itu dan menjadi malu dengan diri sendiri.
Ketika saya berapi-api membahas tentang kekurangan teman saya, tiba-tiba datang seorang profesor mendengar juga, tapi dengan wajah respek yang tinggi, sampai-sampai saya salah prediksi.
Saya mengira dia berada di posisi saya, eh ternyata di akhir dari cerita dan kupasan yang menggembirakan teman-teman yang tidak sadar itu, terdengar dari mulut sepinya sang Profesor, "Nobody is perfect."
Sejak saat itu, saya menjadi sadar dan tidak percaya diri membahas dan membicara kekurangan orang lain, apalagi harus menulisnya.Â
Tentu saja yang saya maksudkan hal ini berbeda dengan sorotan kritis dalam bentuk tulisan yang bertujuan memberikan kritik.
Meskipun demikian, saya pikir tetap saja penting beberapa hal ini:
1. Kesadaran pertama yang penting adalah bahwa memberi tahu secara personal jauh lebih terhormat daripada dalam tulisan yang dibaca publik
Apapun sifat dan tujuan sebuah kupasan yang menyebut nama dan institusi tertentu, pasti menimbulkan rasa tidak enak. Apakah mengupas kekurangan orang dalam tulisan di media sosial itu adalah solusi satu-satunya?
Kayaknya gak juga kan. Kita punya banyak solusi dan model pendekatan yang mungkin jauh lebih familiar dan dapat diterima daripada kupasan di media yang terlihat beda-beda tipis dengan nyinyir.
Nah, ada beberapa metode tua yang juga sudah dikenal banyak orang, misalnya metode empat mata dan sharing Emaus (Emaus Austausch).Â
Saya melihat metode berbicara empat mata itu adalah metode terbaik supaya orang bisa berbicara dari hati ke hati.
Metode empat mata dan Emaus Austausch itu akan membentuk kualitas dan intensitas, yang sangat mungkin bisa dicapai pada tingkat kedalaman pemahaman dan bukan kesalahpahaman (Missverständnis).
2. Ada saat di mana orang yang melakukan kesalahan tahu tentang kesalahannya, pentingkah pada saat itu harus dikatakan lagi?
Pada Senin, 21 November lalu, saya lupa mematikan lampu di salah satu ruangan di rumah kami. Keesokan harinya, seorang teman datang kepada saya memberi tahu bahwa kemarin saya lupa mematikan lampu pada suatu ruangan.
Saat ia memberitahu saya, rupanya saya kurang bisa menerimanya, soalnya masih ada banyak orang di situ dan kenapa dia tidak langsung mematikan lampu, kan sudah selesai persoalannya.
Oleh karena itu, ada rasa kesal dalam diri saya. Tapi, sudahlah namanya orangtua, mereka pasti senang mengoreksi dan menunjukkan kekurangan ini dan itu.
Pada posisi manusiawi yang lain, saya langsung berpikir, saya tunggu kalau ada kesalahannya, nanti saya akan tegur dia, tidak peduli dia lebih tua.
Itu benar-benar niat saya beberapa hari lalu, setelah pagi harinya dia menegur saya. Ternyata pada sore harinya, langsung telak sekali. Ada kegiatan bersama yang seharusnya dipimpin teman saya itu. Waktu tinggal 5 menit, semua orang sudah menunggunya.
Saya menelepon dia untuk memberitahunya, ternyata dia sudah nongol dan bertanya, siapa yang bertugas? Saya bilang, "sesuai jadwal, sepertinya Anda yang bertugas."
Dia seperti tidak percaya dan berusaha protes. Saya katakan sekali lagi, "sudahlah siap-siaplah sekarang dan saya membantumu untuk siapkan microphone dan lain sebagainya."
Setelah acara selesai, semestinya, waktu itu kesempatan indah buat saya untuk mengupas kesalahannya. Tapi, kenapa ya, rasanya sih gak tega. Pertama waktu melihat saya, dia sudah nervous. Saya lalu menyebut namanya, "Richard (bukan nama sebenarnya), alles wird gut," semua akan jadi baik.
Saya juga tidak sanggup untuk berdiri lama bersama dia, karena saya yakin pasti akan sangat mengganggu dia. Saya pergi dengan harapan biar dia tahu bahwa saya memahami perasaannya, dan menganggap itu semua sudah berlalu dan kita mulai baru sambil saling mengingatkan dan tidak saling mempermalukan.
Bagi saya momen seperti itu adalah momen pergulatan yang penuh arti. Cerita itu mengajarkan saya tentang hal ini:
1. Respek itu nilainya selalu lebih tinggi dari sekedar memuaskan amarah untuk balas dendam.
2. Meredam keinginan untuk mengupas kesalahan orang lain sama dengan memasukan diri ke dalam ruang penguasaan diri yang tenang.
3. Tidak terbawa emosi itu adalah pilihan bijak, karena sebenarnya Anda punya potensi untuk mengupasnya, tapi Anda tidak melakukan itu karena pertimbangan tidak mau menuruti perasaan sesaat.
4. Menulis itu adalah proses kedewasaan berpikir. Pilihan mengupas kesalahan orang lain, baik itu lisan maupun tulisan, tidak terlepas dari pertimbangan seberapa besar orang lain tetap dihargai.Â
Semakin orang lain tidak dihargai, maka bisa jadi ruang kedewasaan berpikir kita masih membutuhkan proses kematangannya. Ya, nobody is perfect.Â
Jadi, pada prinsipnya, orang bisa mengupas kesalahan orang lain, tapi dengan metode yang tidak mempermalukan orang lain. Kalau sampai pada tingkat itu, sebetulnya ia baru benar kinyis-kinyis.
Salam berbagi, ino, 23.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H