Filosofi rajawali dalam dunia tulis menulis, tidak akan pernah melupakan kecermatan pengamatan dan kejelian menginvestigasi fakta, hingga  perhatian pada diksi dan kenyataan-kenyataan kecil dari isu-isu terkini | Ino Sigaze.
Dalam satu penelusuran kemarin siang pada dinding Facebook, tiba-tiba dikejutkan oleh video singkat tentang seekor rajawali yang tengah terbang rendah dan menangkap ikan, lalu terbang lagi menuju dahan ranggas untuk berhenti sejenak.Â
Gambar Rajawali dan pertanyaan awal yang mengganjal nalar
Gambar itu sepintas membungkam pikiran, hingga cuma terdiam sambil mencermati dan bertanya maksudnya apa sih?Â
Penampakan realitas yang spontan itu perlahan-lahan menggoda nalar untuk sebuah interpretasi rupa-rupa. Pertama-tama gambar itu menyeret saya pada suatu gagasan tentang Indonesia pasca KTT G20, fase menangkap peluang dan mencermati isu global.Â
Entah kenapa saya sendiri tidak berani meneruskan gagasan samar-samar itu. Tidak mau memperdalam ide yang cuma samar-samar, saya menatap sekali lagi gambar itu. Terbersit suara yang sangat halus terdengar katanya, "tulislah tentang penulis yang menangkap realitas dan jeli mencermati isu dunia terkini.Â
Sepintas ada sukacita kecil dalam hati saya. Ya, saya mencoba membaca gambar itu dengan memposisikannya sebagai satu gambar metafora tentang seorang penulis di era digital sekarang ini.Â
Apakah penulis itu seperti Rajawali?Â
Penulis memang tetap saja seorang manusia dan bukan Rajawali, namun kualitasnya bisa diumpamakan dengan sang rajawali. Rajawali punya sayap yang kuat, ia mampu juga terbang tinggi.
Mungkin itu isyarat tentang seorang penulis yang punya jam terbang tinggi. Tidak hanya itu, ternyata rajawali punya cakar yang tajam, mungkin itu bagaikan jari jemari penulis yang bisa di mana dan kapan saja menulis dan merangkai kata-kata.Â
Jari-jari penulis go digital begitu akrab dan bisa nyaman dengan kenyataan multitasking yang kekinian. Seperti rajawali, penulis perlu cepat menyimpan gagasan yang muncul sekejap, bahkan samar-samar.Â
Tidak hanya soal sayap dan cakar yang mengagumkan, tetapi juga pertama-tama mata sang rajawali yang tajam. Bagi saya mata sang rajawali memberikan pesan khusus tentang kejelian seorang penulis.Â
Penulis bisa saja adalah orang yang punya ketajaman berpikir dan mampu melihat detail fakta dan realitas, pesan dan makna, peluang, kelebihan dan kekurangan. Kejelian itu sampai titik konsentrasi menata kata, kalimat, dan gramatikanya.Â
Saya jadi ingat saat belajar bahasa Yunani di Universitas Sankt Georgen Frankfurt, ada satu kata yang pernah mengejutkan saya, yakni kata Gramateas,, yang berarti Dokument. Sedangkan kata , gramatikos berarti bahasa tulisan. Kejelian yang saya maksudkan di sini tidak hanya soal membaca makna dan pesan, tetapi juga soal kemampuan mengenal prinsip-prinsip gramatikal itu sendiri. Hal itu mungkin yang paling sulit, tetapi juga adalah sangat penting.Â
Dari asal bahasa Yunani itulah, sebenarnya bagi penulis itu tidak hanya sekedar menulis tetapi memahami pesan apa yang mau disampaikannya. Untuk suatu cara penyampaian pesan yang benar-benar menyentuh tentu saja tidak mudah.Â
Kejelian itu diperoleh dari proses belajar menulis dan pengenalan budaya lain
Saya menyadari  bahwa hal itu membutuhkan waktu dan proses belajar. Saya merasakan itu sampai dengan saat ini, ternyata tetap membutuhkan waktu untuk terus menulis dan terus belajar lagi.
Kejelian itu sangat penting, karena dari situlah orang mengenal perbedaan dari hal yang terlihat sama. Saya ambil satu contoh, terkait penyebutan angka dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jerman: 234. Dalam bahasa Indonesia akan disebut secara berurutan, duaratus tigapuluh empat, sementara dalam bahasa Jerman sedikit berbeda, zwei hundervier und dreizig, subjek menyebut angka pertama dari angka yang di depan lalu angka yang terakhir dan angka yang berada di tengah. Kok bisa begitu sih?Â
Nah, itulah yang saya namakan kejelian itu penting supaya bisa melihat perbedaan dan alasannya. Semula saya tidak mengerti, mengapa harus disebut begitu. Lama tinggal di Jerman dan saya mulai mengerti bahwa itu ada hubungannya dengan etika dan keramahtamahan (Gastfreundschaft) dan juga soal kejelian. Angka yang sama seperti 234, tetapi saya menyebutnya harus sesuai kode etik dan budaya di mana saya berada.
Yang pertama memang pantas disebut, tetapi yang terakhir tidak harus disebut terakhir, sekurang-kurangnya di Jerman yang terakhir akan disebut sebagai yang kedua.Â
Kenyataan lain yang membuat saya heran-heran tentang bagaimana cara menyebut saya, kamu dan dia. Misalnya saya akan berangkat ke Jakarta bersama dua teman saya. Pada saat itu, saya berbicara cuma dengan seorang teman yang akan berangkat juga, maka sebagai pembicara, saya tidak menyebut bahwa yang berangkat ke Jakarta nanti adalah saya, kamu dan dia, tetapi seharusnya saya mengatakan yang berangkat nanti adalah kamu, dia dan saya.Â
Kenyataan itu begitu kecil dan sederhana, namun ketika saya menyebutnya tidak dengan benar sesuai kultur mereka (Jerman), maka orang akan tahu bahwa saya terlalu mementingkan diri sendiri dan tidak sopan.Â
Kejelian investigasi ala rajawali
Pada prinsipnya, saya mau mengatakan bahwa tanpa kejelian itu sendiri, seorang penulis pasti mengalami kesulitan mengembangkan ide-idenya. Itulah alasannya, mengapa saya mengatakan bahwa karakter rajawali itu adalah simbol pesan yang penting bagi seorang penulis yang mesti belajar menjadi jeli dari waktu ke waktu setiap kali dia menulis.
Saya mengagumi ketajaman mata rajawali yang sebelum menerkam objeknya, ia sudah lebih dahulu timbang-timbang dan rupanya di sana ada fase penyelidikan singkat.Â
Saya masih ingat di belakang rumah kami tumbuh pohon kemiri dan pohon sukun berdekatan, setiap kali ada suara ketakutan ayam, pertanda bahwa rajawali berada pada jangkauan yang dekat. Suatu saat kebetulan sekali saya bisa melihat rajawali itu.
Tampak jelas sekali bahwa rajawali yang sedang bertengger di dahan kemiri itu menggerakan kepala, seakan sedang menyendengkan telinganya untuk mendengar apakah ada bahaya dan lain sebagainya. Ya, investigasi ala rajawali tentu saja penting dengan menggunakan seluruh indera-indera yang dimiliki.Â
Keputusan untuk terjun menangkap objek realitas sudah berarti bahwa sebelumnya ada indikasi relevansi dan berguna dalam pikiran dan pertimbangan penulis. Ya, ia harus bisa menangkap peluang dan mengangkat objek sasarannya setinggi mungkin dalam genggaman cakarnya yang tidak mungkin lepas lagi, sampai disantapnya dalam rupa-rupa literasi dan gaya bahasa.Â
Kadang ia bisa mencabik-cabik objeknya sekedar membedah fakta dan realitas, kemudian mengambil jantung dan hatinya sebagai bagian dari sesi pesan dan inspirasi bagi pembaca.
Rajawali bisa menjadi simbol dari gairah seorang penulis yang jeli mencermati kenyataan-kenyataan yang kecil dan tersembunyi sampai mampu mengangkatnya tinggi hingga sampai pada kelesatan bahasa dan diksi yang bisa dinikmati.Â
Salam berbagi, ino, 20.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H