Tidak hanya soal sayap dan cakar yang mengagumkan, tetapi juga pertama-tama mata sang rajawali yang tajam. Bagi saya mata sang rajawali memberikan pesan khusus tentang kejelian seorang penulis.Â
Penulis bisa saja adalah orang yang punya ketajaman berpikir dan mampu melihat detail fakta dan realitas, pesan dan makna, peluang, kelebihan dan kekurangan. Kejelian itu sampai titik konsentrasi menata kata, kalimat, dan gramatikanya.Â
Saya jadi ingat saat belajar bahasa Yunani di Universitas Sankt Georgen Frankfurt, ada satu kata yang pernah mengejutkan saya, yakni kata Gramateas,, yang berarti Dokument. Sedangkan kata , gramatikos berarti bahasa tulisan. Kejelian yang saya maksudkan di sini tidak hanya soal membaca makna dan pesan, tetapi juga soal kemampuan mengenal prinsip-prinsip gramatikal itu sendiri. Hal itu mungkin yang paling sulit, tetapi juga adalah sangat penting.Â
Dari asal bahasa Yunani itulah, sebenarnya bagi penulis itu tidak hanya sekedar menulis tetapi memahami pesan apa yang mau disampaikannya. Untuk suatu cara penyampaian pesan yang benar-benar menyentuh tentu saja tidak mudah.Â
Kejelian itu diperoleh dari proses belajar menulis dan pengenalan budaya lain
Saya menyadari  bahwa hal itu membutuhkan waktu dan proses belajar. Saya merasakan itu sampai dengan saat ini, ternyata tetap membutuhkan waktu untuk terus menulis dan terus belajar lagi.
Kejelian itu sangat penting, karena dari situlah orang mengenal perbedaan dari hal yang terlihat sama. Saya ambil satu contoh, terkait penyebutan angka dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jerman: 234. Dalam bahasa Indonesia akan disebut secara berurutan, duaratus tigapuluh empat, sementara dalam bahasa Jerman sedikit berbeda, zwei hundervier und dreizig, subjek menyebut angka pertama dari angka yang di depan lalu angka yang terakhir dan angka yang berada di tengah. Kok bisa begitu sih?Â
Nah, itulah yang saya namakan kejelian itu penting supaya bisa melihat perbedaan dan alasannya. Semula saya tidak mengerti, mengapa harus disebut begitu. Lama tinggal di Jerman dan saya mulai mengerti bahwa itu ada hubungannya dengan etika dan keramahtamahan (Gastfreundschaft) dan juga soal kejelian. Angka yang sama seperti 234, tetapi saya menyebutnya harus sesuai kode etik dan budaya di mana saya berada.
Yang pertama memang pantas disebut, tetapi yang terakhir tidak harus disebut terakhir, sekurang-kurangnya di Jerman yang terakhir akan disebut sebagai yang kedua.Â
Kenyataan lain yang membuat saya heran-heran tentang bagaimana cara menyebut saya, kamu dan dia. Misalnya saya akan berangkat ke Jakarta bersama dua teman saya. Pada saat itu, saya berbicara cuma dengan seorang teman yang akan berangkat juga, maka sebagai pembicara, saya tidak menyebut bahwa yang berangkat ke Jakarta nanti adalah saya, kamu dan dia, tetapi seharusnya saya mengatakan yang berangkat nanti adalah kamu, dia dan saya.Â
Kenyataan itu begitu kecil dan sederhana, namun ketika saya menyebutnya tidak dengan benar sesuai kultur mereka (Jerman), maka orang akan tahu bahwa saya terlalu mementingkan diri sendiri dan tidak sopan.Â
Kejelian investigasi ala rajawali