Desa Kerirea berada di wilayah administrasi Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Flores, NTT. Kerirea merupakan desa yang berada di wilayah pegunungan dari bentangan wilayah Barat dari Kabupaten Ende. Wilayah Barat ini penduduknya memiliki bahasa yang sama dengan dua dialek yang berbeda, sebut saja Ja dan Nga. Keduanya punya kandungan arti yang sama, yaitu saya.
Sejak tahun 2008 potensi alam dan adat desa Kerirea telah dilihat banyak orang, meskipun waktu itu cuma terbatas pada komentar lepas: "Wow alamnya indah, dari ketinggian kita bisa melihat laut dan pulau Ende, gunung Ia, Meja dan Wongge. Bahkan pada satu posisi tertinggi dari desa Kerirea orang bisa melihat tanjung di Barat di pesisir Kecamatan Nangaroro, hingga bisa menikmati keindahan puncak Abu Lobo di daerah Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo."
Komentar-komentar itu berkembang dalam perjalanan waktu hingga pada aksi-aksi kecil seperti promosi melalui tulisan-tulisan kecil melalui media sosial seperti di Facebook pada umumnya. Ketika saya menulis di Kompasiana, saya merasakan panggilan yang kuat untuk memperkenalkan gagasan tentang potensi desa Kerirea sebagai desa Wisata Alam dan Wisata Adat.Â
Lebih-lebih ketika saya mengunjungi Instagram Adira Finance dan membaca artikel dari Vika Kurniawati tentang "Ada Apa dengan Tari Edan-Edanan dan Nasi Uduk FKL 2022 Pasar Legi Kotagede?"
Pertanyaan di sini tentu saja, apa saja potensi yang ada di desa Kerirea sehingga bisa punya gagasan desa wisata alam dan adat?
1. Potensi alam dan potensi wisata masa depan Kerirea
Potensi alam yang bisa diandalkan di wilayah desa Kerirea sangat beragam:
Air Terjun Tiwu awu
Potensi Air Terjun Tiwu Awu punya peluang sebagai destinasi wisata karena Tiwu Awu sendiri punya sejarah yang hidup hingga saat ini. Tiwu Awu punya kandungan sejarah yang terhubung dengan kampung Mbari.Â
Tiwu Awu sendiri punya cerita unik yang dikenal sebagai tempat tinggalnya keluarga Belut. Di sana masih ditemukan lubang persembunyian belut, ada kursi-kursi batu alam sebagai tempat duduk untuk memancing. Sayang sekali batu lesung tidak ditemukan lagi. Pada tahun 1985 batu lesung itu masih ada di sana.