Kenaikan cukai rokok sebaiknya bukan hanya menjadi solusi satu-satunya, tetapi di sana dibutuhkan juga jenis-jenis edukasi dan pendekatan yang menyentuh nadi adat dan kebiasaan masyarakat, hingga sampai pada kesadaran tentang pentingnya kesehatan dan kemandirian ekonomi bagi masa depan mereka dan bangsa ini | Ino Sigaze.
Kebijakan kenaikan cukai rokok memang menarik dari sisi tujuannya agar menekan kecenderungan anak-anak muda yang merokok. Merokok bisa saja menjadi satu fenomena masyarakat umumnya yang punya hubungannya dengan gengsi sosial.
Kenaikan harga cukai rokok rupanya bukan satu-satunya menjadi cara terbaik untuk membendung atau memangkas gengsi anak-anak muda yang merokok, bahkan bisa saja dikatakan kebijakan itu tidak punya pengaruhnya.
Rokok adalah bagian dari bisnis di pasar global. Tidak ada satu negara pun yang penduduknya tidak ditemukan merokok. Rokok telah menjadi tren modern, bahkan di belahan benua Eropa terdapat fenomena yang mengejutkan karena ternyata paling banyak merokok di sana adalah perempuan daripada laki-laki.
Itu hanya suatu fenomena saja yang tentu saja masih bersentuhan dengan tema merokok. Akan tetapi, fokus ulasan ini adalah apakah kebijakan kenaikan cukai rokok itu memberikan pengaruh pada sikap dan keputusan para perokok untuk mengurangi kebiasaan merokok? Ada beberapa alasan yang memberatkan kebijakan itu sebagai solusi terbaik:
1. Merokok itu adalah pilihan atas dasar gengsi budaya masyarakat
Pemahaman tentang merokok sebagai fenomena yang ada kaitannya dengan gengsi budaya masyarakat itu saya pahami ketika beberapa kali liburan di Flores. Ada perubahan terkait kenyataan merokok dalam setiap event kemasyarakatan di sana.
Momen kemasyarakatan di sana umumnya terhubung dengan konsep adat, bahkan rokok itu sendiri telah dihitung sebagai instrumen penting dalam adat.Â
Coba bayangkan adat Ende misalnya, punya momen yang dikenal sebagai zo weti bako, atau momen pengantin melayani rokok dan sirih pinang secara adat.
Nah, pada momen seperti itu, yang disiapkan bukan cuma satu jenis rokok, tetapi ada beberapa jenis dari segi harganya. Satu hal yang pasti bahwa Surya 12, Sampoerna pasti ada di sana. Saya kaget karena harga dari jenis Sampoerna dan Surya itu sudah di atas 25.000 per bungkus di kampung saya.
Saya sudah membayangkan melalui kenaikan cukai rokok ini, maka bisa diprediksi bahwa harga kedua jenis rokok itu akan mencapai 30.000 per bungkus. Pertanyaannya apakah dengan kenaikan itu orang akan kapok membeli rokok?
Tentu saja tidak, karena tuntutan adat selalu dianggap lebih penting dari besarnya harga. Semakin tinggi nilai instrumen seperti rokok itu, maka semakin tinggi status sosial dan pengakuan mereka yang menyelenggarakannya.
Aneh memang, tapi itu kenyataan yang sangat sulit diubah. Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa adat selalu lebih kuat dan masyarakat pemegang adat selalu menyesuaikan dengan pasar, tanpa mengeluh dan tidak mampu meredusir secara ketat.
2. Pembuat kebijakan kenaikan cukai rokok tidak punya interest dengan pihak perusahaan rokok
Kenaikan cukai rokok itu mungkin kebijakan pemerintah atas dasar pertimbangan kesehatan masyarakat, namun kebijakan pemerintah itu tidak membatasi kebijakan perusahaan rokok untuk mengubah sistem harga dan pemasaran rokok di pasar.
Dari perbedaan kepentingan itu, sudah pasti bahwa pihak perusahaan akan mengubah kebijakan perusahaan untuk menyesuaikan diri dengan kemampuan daya beli masyarakat. Hal yang dipikirkan oleh perusahaan rokok adalah hasil produksi mereka bisa laku sebanyak-banyaknya dan mereka meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Kemungkinan yang ada sebagai dampak dari kebijakan kenaikan cukai rokok adalah pihak perusahaan memproduksi jenis rokok yang berbeda baik dari segi harga maupun ukuran dan desain bungkusannya.
Saya masih ingat pada bulan Agustus lalu, saya pernah beberapa kali merokok sekedar merasakan jenis rokok yang bagi saya baru.Â
Waktu itu kebetulan saya sedikit sakit tenggorokan. Saudara saya menawarkan kepada saya sebatang rokok yang gulungannya sangat kecil dengan cita rasa mentol.
Sekali saja saya merokok, saya merasa enak dan cocok juga untuk meredakan tenggorokan yang sedang sakit. Namun oleh karena pertimbangan logis bahwa merokok itu tidak mungkin dijadikan sebagai obat, maka saya tidak melanjutkannya.
Meskipun demikian, saya membayangkan bagi orang yang sudah sering merokok, maka jenis rokok dengan cita rasa seperti itu bisa saja menjadi pilihan dengan alasan yang bisa dilukiskan, "kan cocok buat tenggorokan lho, makanya saya merokok."
Nah, dari situ sebenarnya merokok itu ada hubungannya dengan alasan ketiga berikut ini.
3. Kelogisan cara berpikir masyarakat
Merokok sampai menjadi perokok itu sebenarnya ada hubungannya dengan cara berpikir. Sebuah cara berpikir yang sebetulnya sangat disayangkan, tetapi juga perokok itu sendiri punya alasan-alasan sendiri.
Beberapa alasan yang umumnya terdengar di masyarakat seperti ini:
1. Merokok itu bisa menjadi pilihan yang mendatangkan teman. Kebanyakan orang berpikir bahwa seorang yang tidak merokok pasti tidak punya teman. Dan teman dalam alam berpikir mereka hanya bisa terjalin kalau ada rokok. Tidak heran kalau ada rokok, orang bisa duduk berdua berjam-jam.
2. Rokok itu sebagai simbol dari kedewasaan. Saya tidak tahu di daerah lain, kalau di tempat saya, apakah orang merokok atau tidak menjadi teman dan menemani tamu yang datang dengan ikut merokok, itu merupakan bagian dari keramahtamahan.
Aneh bukan? Ya, tentu saja sangat aneh, tapi itulah logika dan cara berpikir di masyarakat yang memang sangat sulit diubah. Bagi mereka keramahtamahan itu jauh penting nilainya daripada memperhitungkan berapa harga sebatang rokok.
3. Rokok sebagai tanda penerimaan. Di kampung saya, kalau kita tidak menerima rokok yang dilayani seseorang apalagi dalam konteks forum adat, maka akan dimengerti sama dengan menolak orang yang melayani. Tapi saya bersyukur bahwa konsep seperti itu sudah mulai sedikit berubah kalau dibandingkan dengan tahun 1980-an.
Pelayan rokok akan tersinggung, jika rokok yang dilayani tidak diambil. Bahkan ada semacam konsep berpikir, entah Anda merokok atau tidak, setiap dilayani rokok, Anda harus mengambilnya.
Lagi-lagi aneh, tapi itulah kebiasaan di masyarakat kita, yang saya percaya tidak mudah dilepas hanya oleh kebijakan kenaikan cukai rokok saat ini.
Nah, oleh karena muncul pertanya cara apa sehingga bisa mengubah kebiasaan merokok anak-anak muda atau siapa saja:
1. Bentuk edukasi terus-menerus terkait hubungan antara merokok dan dampaknya bagi kesehatan tubuh.
2. Edukasi terkait betapa besarnya biaya rokok. Saya masih ingat cerita seorang teman saya yang bertahun-tahun merokok, lalu suatu waktu ia coba menghitung berapa uang seluruhnya yang sudah dihabiskan hanya untuk rokok, katanya, semestinya ia sudah bisa membeli satu mobil Avanza.
3. Perlu adanya edukasi terkait hubungan antara adat dan instrumen adat yang sehat bagi kehidupan. Gerakan pro kehidupan (pro life) mungkin perlu sampai kepada konsep kritis terhadap adat dan kebiasaan yang diterima begitu saja tanpa melihat dari segi kesehatan dan kemandirian ekonomi.
4. Gerakan promosi hidup sehat mulai dari diri sendiri. Siapa saja yang berjuang mendukung kebijakan untuk hidup sehat, dia sendiri harus sehat. Jika dia mengajarkan orang supaya bisa membatasi diri untuk tidak merokok secara berlebihan, maka dia sendiri harus bisa meredusir kebiasaannya untuk merokok.
Demikian beberapa catatan kritis terkait kebijakan kenaikan cukai rokok di satu dengan tujuan yang mulia, tetapi juga perlu dipertimbangkan dengan aspek kehidupan lain yang nyata di masyarakat. Di sana ada adat yang mengikat cara berpikir dan logika-logika konyol.Â
Oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah edukasi penyadaran terkait hubungan antara kesehatan dan adat yang membuat orang hidup sehat.
Salam berbagi, ino, 6.11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H