Dilema masyarakat desa, khususnya petani saat ini tentunya sangat besar. Jika mereka setia pada tradisi bertani yang sangat tradisional, maka sudah pasti menguras energi mereka sangat banyak.
Coba bayangkan kalau tidak boleh membajak kebun, selain harus mencangkul. Belum lagi, bagaimana para petani itu bisa bersaing dalam ranah pasar yang lebih luas, kalau hasil tradisi bertani mereka hanya itu-itu saja dan sangat terbatas.
Keterbatasan itu, karena kesetiaan mereka pada tradisi. Apakah masih harus dipertahankan? Wawasan seperti apakah yang bisa dipakai untuk menjelaskan hubungan antara di satu sisi jadi petani modern, pada sisi lainnya juga tetap setia pada tradisi bertani.
Ya, bisa saja itulah definisi dari petani milenial, yang tentu saja masih sangat terbuka pada diskusi dan kajian lainnya.Â
Mampukah kaum muda memadukan antara yang modern dengan yang tradisional bersama kearifan lokalnya?
Tanpa keseimbangan antara kemodernan dengan tradisi bertani bersama kearifan lokalnya, maka sudah pasti wajah sekularisasi menjadi begitu nyata sampai ke desa-desa.
Ya, sekularisasi dalam tradisi bertani bisa saja semakin merapat dan mengimpit tradisi bertani yang berakar pada kearifan lokal.Â
Mari kita coba memadukan keduanya, menjadi petani modern yang elegan, tetapi tetap setia pada tradisi bertani yang diwariskan leluhur dengan sikap keterbukaan baru pada koreksi-koreksi yang genial dan masuk akal.Â
Salam berbagi, ino, 21.06.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H