Perubahan iklim dan kontur tanah sudah seharusnya menjadi aspek yang perlu dipertimbangkan dalam konteks pembahasan terkait tradisi bertani.
Kalau dulu rupanya tingkat kesuburan tanah jauh lebih tinggi, bahkan tanpa bantuan aneka macam pupuk. Saat ini, sepertinya tidak bisa bertani tanpa pupuk. Mengapa seperti itu?
Ada 2 alasan berikut ini:
Angka pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk desa yang juga adalah petani semakin banyak, yang berdampak pada pembagian lahan kerja. Jika seseorang hanya punya satu atau dua lahan kerja, maka mau tidak mau setiap tahun dia harus tetap menggarap lahan yang sama. Dulu setiap petani punya banyak lahan, satu bidang lahan baru digarap beberapa tahun kemudian. Oleh karena sebenarnya tidak membutuhkan pupuk lagi.
Curah hujan yang semakin sedikit dan suhu panas banyak, bahkan perubahan iklim sudah sulit ditebak oleh petani lagi.
4. Kemajuan informasi dan komunikasi
Kemajuan informasi dan komunikasi saat ini yang tidak bisa dibendung lagi. Siapa saja boleh mengonsumsi informasi untuk kemajuan hidup dan bahkan untuk kemajuan usahanya.
Sangat mungkin bahwa melalui kemajuan informasi itu, para petani semakin menjadi cerdas, bahkan punya sikap dan keputusan sendiri bahwa yang penting saat ini adalah kecepatan memperoleh hasil, kualitas dan pemasarannya.
Bagaimana petani di desa bisa setia bertahan dengan tradisi bertani, kalau hidup sebagai petani padi, misalnya, setahun hanya sekali panen dengan hasil yang sangat sedikit. Bagaimana bisa hidup?
Petani yang cerdas, tentunya akan punya keputusan lain. Misalnya, mereka punya kebun padi, jagung seadanya saja sekedar untuk mengenang warisan dan tradisi nenek moyang mereka.