Orang bijak yang menoreh literasi pencerahan demi keutuhan bangsa ini akan dikenang selamanya. Mari belajar dari Buya Syafii untuk negeri yang berbhineka ini.
Berita tentang kepergian Buya Syafii tentu merupakan berita kehilangan seorang tokoh nasional Indonesia. Ia menjadi tokoh yang dihormati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, pantas sekali bahwa Kompasiana mengangkat berita kepergian Buya Syafii (27 Mei 2022) menjadi tema yang ditawarkan kepada penulis Indonesia kali ini. Saya sendiri tertarik dengan gagasan-gagasan dan pemikiran Buya Syafii tentang keindonesiaan.Â
Dari kekayaan khasanah cara berpikirnya tentang Indonesia dan bagaimana menjadi masyarakat Indonesia, Buya Syafii memang pantas menjadi figur yang patut ditiru.Â
Ada 3 model literasi Buya Syafii yang perlu diketahui masyarakat Indonesia saat ini:
1. Literasi Buya Syafii tentang kesederhanaan hidup
Buya Syafii terkenal oleh karena warisan kebajikan kesederhanaannya. Kesederhanaan yang tidak dikatakannya secara lisan bahwa orang harus hidup sederhana, tetapi kesederhanaan yang dibangunnya melalui literasi kehidupannya yang sederhana.
Dalam catatan banyak penulis tentang Buya Syafii ditemukan cerita seperti bagaimana saat di rumahnya, ia masih bersedia mencuci piring dan masih melakukan hal-hal kecil lainnya.
Literasi itu yang bagi saya terlihat sangat menarik. Nah, saya jadi ingat seorang teman yang tinggal serumah dengan saya, punya gelar Prof, Dr. Dr tetapi bisa mencuci piring bersama, kadang-kadang dia memasak sendiri untuk kami semua, mencuci perlengkapan dapur.
Cerita kesederhanaan Buya Syafii itu sangat menyentuh hati saya, karena berbanding sama dengan apa yang saya lihat di Jerman. Bagi saya orang hebat itu bukan orang yang punya gelar panjang, tapi cenderung memecah belah bangsa, tetapi orang yang punya gelar dan baru dikenal saat kepergiannya, tetapi terkenal karena kesaksian hidupnya.
Ya, saya mau mengatakan bahwa literasi kehidupan Buya Syafii yang menempatkan nilai kesederhanaan sebagai nilai penting, pantas menjadi sorotan refleksi generasi mudah Indonesia saat ini.
2. Literasi kosmis "langit ini untuk semua orang termasuk untuk mereka yang tidak percaya pada Tuhan."
Kompas.com (27/05/2022) merilis berita tentang kepergian Buya Syafii Maarif, Muhammadiyah dan Indonesia berduka. Dalam sesi rilisan itu ada kutipan tentang kata-kata Buya Syafii yang bagi saya merupakan ciri dari literasinya yang khas.
Selain literasi kehidupan yang menampilkan aspek kesederhanaan hidup, Buya Syafii ternyata punya literasi kosmis yang unik dan bernuansa kaya nilai sastra.
Tokoh-tokoh ternama dunia selalu punya hubungan khusus dengan dimensi kosmis, bahkan bahasa-bahasa mereka sering mengungkapkan kedekatan mereka dengan alam kosmos.
Nah, Buya Syafii menggunakan literasi kosmis itu untuk mengajak anak bangsa ini. Lihatlah langit tidak punya batas, langit tidak punya dinding pemisah.
"Langit ini untuk semua orang termasuk untuk mereka yang tidak percaya pada Tuhan." Dari ucapan Buya Syafii yang satu itu saya menangkap bagaimana dalamnya pancaran dimensi spiritual dalam literasi kehidupan seorang Buya Syafii.
Dalam kesederhanaannya, Buya Syafii menatap langit dan belajar dari langit. Langit ditatapnya, saat itu ketika riuh rusuh di negeri ini tentang gejolak radikalisme, anti ini dan anti itu.Â
Buya Syafii sudah menemukan rahasia dari gejolak yang seringkali mengancam keutuhan bangsa itu dengan bijak dan hening meninggalkan kata-kata sejuk ini:Â Langit ini untuk semua orang termasuk untuk mereka yang tidak percaya pada Tuhan.
3. Literasi pencerahan dan optimisme untuk menjaga Indonesia
Buya Syafii sebagai tokoh Muhammadiyah dan tokoh Indonesia telah mewariskan satu model literasi pencerahan di tengah maraknya literasi hoaks demi kepentingan tertentu semata.
Cerita kehidupan Buya Syafii pernah menghadapi tantangan hoaks oleh pihak-pihak yang mungkin merasa iri hati dengannya, namun Buya Syafii tidak pernah goyah, oleh karena pegangannya pada prinsip literasi kehidupan yang sederhana.
Lebih dari itu, Buya Syafii tidak mau terbawa arus kebohongan itu sendiri, tetapi sebaliknya ia lebih mengutamakan literasi pencerahan dan optimisme sebagai orang yang berilmu dan orang Indonesia yang mencintai kemajemukan ini.
Buya Syafii menorehkan tinta gagasan cintanya pada negeri dengan lambaian ajakan pada anak bangsa, mari mencintai negeri ini dengan tulus, walaupun keadaannya ruwet dan tidak mudah seperti saat ini.
Dari torehan gagasan Buya Syafii semestinya anak bangsa ini belajar mencintai negeri dalam 3 hal ini:
- Jadilah sederhana yang mengungkapkan kemandirian dan kedisiplinan diri.
- Menjadi profesional bukan saja pada hal-hal besar yang sesuai dengan keilmuan yang dipelajari, tetapi lebih dari itu sampai pada tingkat yang paling bawah di rumah.Â
- Cintai alam dan kosmos kita, dari sanalah orang belajar menemukan keadilan dan hidup yang sama sebagai penghuni bumi Indonesia.
- Jangan menyerah dalam gelombang persoalan bangsa yang ada, tetapi tetaplah optimis sambil gencar membangun literasi pencerahan kepada seluruh rakyat Indonesia yang majemuk ini.Â
Buya Syafii telah menorehkan jejak hidup yang membias kedalam refleksi terhadap dinamika negeri ini agar anak bangsa ini tidak melupakan kesederhanaan untuk melawan budaya konsumerisme, tidak mengabaikan kosmos ditengah kemajuan metaverse, tidak mengabaikan pencerahan di tengah gelombang radikalisme.
Salam berbagi, ino, 28.5.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H