Nah, sekurang-kurangnya saya pernah melihat langsung di ujung jembatan Theodor. Seorang pria yang kurus tinggi berambut pirang. Pada tangan kirinya, ia memegang sebotol bir dan pada tangannya sedang beraksi melukis dengan menggunakan botol semprotan spuit.
Apakah karena dia sedang mabuk atau tidak, yang jelas ia mesti tahu membedakan pada tempat di mana ia diperbolehkan melakukannya itu dan mana yang tidak boleh. Rupanya kejernihan berpikir sudah dikacaukan oleh minuman yang beralkohol.
Sudah pasti bahwa grafiti itu hampir bisa ditemukan di mana-mana, bahkan di setiap sudut rumah selalu saja ada tulisan-tulisan.Â
Tugas pemerintah adalah bagaimana mengayomi pelukis dan seniman jalanan itu supaya teratur melukis dan menulis pada tempatnya dan bukan suka-suka mereka.
Seni tentunya mulia jika tidak tercampur oleh unsur vandalisme atau perbuatan yang merusak karya seni seseorang dengan kemarahan (blinde Zerstörungswut).Â
Karya seni yang dimaksudkan di sini bukan saja soal lukisan hasil karya para seniman jalanan itu, tetapi karya seni dalam bentuk arsitektur bangunan yang dirusakan dengan gambar-gambar yang tidak sesuai dan tidak pada tempatnya.
Bagaimana caranya supaya grafiti itu bisa tidak mengarah ke vandalisme:
- Perlu adanya gerakan mencintai seni dengan merangkum para seniman jalanan.
- Perlu adanya pengarahan kepada para seniman jalanan yang secara resmi terdaftar sebagai pelukis grafiti.
- Perlu adanya kontrol dan kerjasama pemerintah supaya mencegah aksi-aksi vandalisme.Â
- Perlunya opini-opini positif yang mengarahkan para seniman jalanan merealisasikan bakat dan kemampuan mereka secara tepat, benar dan bermanfaat.
Demikian beberapa ulasan terkait grafiti dan dilema vandalisme seniman jalanan. Pada prinsipnya nilai dari karya seni itu akan menjadi tinggi, jika ditempatkan pada tempat dan waktu yang tepat.
Salam berbagi, ino, 9.05.2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H