Sejarah mencatat bahwa asosiasi Pusat Pemilik Rumah dan Tanah Jerman pernah melaporkan bahwa pada tahun 2005 telah menghabiskan biaya sebesar 500 juta euro untuk menghapus grafiti ilegal pada bangunan dan pada kereta api.
Kasus-kasus itu telah dihitung oleh pihak transportasi kereta api Jerman (Deutsche Bahn) sebagai sebuah vandalisme. Pada tahun 2012 biaya yang dikeluarkan sebesar 33 juta euro dari 30.000 kasus vandalisme (bdk. de.m.wikipedia.org).
Memburu pelaku grafiti yang tidak pada tempatnya
Saya masih ingat pengalaman pagi hari ini. Ketika saya keluar dari pintu depan rumah, langsung terlihat 3 polisi di depan rumah sedang terburu-buru. Mereka mengambil foto pada dinding rumah kami yang baru saja di coret.
Padahal pada dinding yang sama sudah berkali-kali dihapus, tetapi lalu dicoret kembali. Terkadang ada tulisan yang tidak sopan, makian, bahkan ada simbol-simbol dari ideologi yang terlarang.
Tidak heran aksi-aksi seperti itu diburu polisi. Meskipun demikian, terasa pula bahwa aksi-aksi sangat sulit dideteksi, karena pelaku selalu melakukan itu pada saat tidak ada orang yang melihatnya, kecuali jika ada CCTV.
Tulisan, simbol dan gambar grafiti umumnya lebih berupa kode-kode dan atau singkatan dan nama samaran. Oleh karena itu, sangat sulit mendeteksi siapa pelakunya dan atas dasar apa mereka melakukannya.Â
Dilema antara seniman jalanan dan vandalisme
Para seniman jalanan itu sebenarnya sangat banyak. Bahkan mereka ada orang-orang berpendidikan. Ada juga orang yang mengikuti kursus dan sekolah seni rupa yang mengajarkan mereka bagaimana profesional melukis dan menggambar.
Meskipun demikian, terkadang kemampuan mereka tidak bisa secara tepat disalurkan dalam kehidupan mereka. Tampaknya seniman jalanan itu tergoda melakukan aksi vandalisme berupa protes dan corat-coret tembok dan lain sebagainya ketika mereka sedang dirasuki alkohol.