Jika pelajar suka andalkan otot bukan otak, maka bukan saja fisik mereka yang perlu diolah, tetapi juga nalar dan dimensi spiritual mereka perlu disapa.
Setelah membaca ulasan tema kompasiana tentang "Klitih di Jogja", saya tersentak oleh pengalaman masa lalu saya sendiri di saat masih di masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Pengalaman masa muda saat belum mengenal istilah klitih; di Flores umumnya dikenal dengan istilah tawuran antar pelajar.
Masa remaja adalah masa tidak pernah mengenal takut. Masa di mana rasa ingin coba memuncak setiap saat dalam semua hal. Masa-masa itu masih terhipnotis oleh film India dan Wirosableng 212 dengan jurus kera dan macam-macam lainnya.
Saya sendiri tidak bisa mengerti mengapa pada masa itu begitu tergila-gila dengan jurus-jurus pencak silat, kungfu, taekwondo, kempo dan lain sebagainya.
Tiga tahun masa itu dihabiskan dengan saat-saat pertarungan tiada henti bukan saja di tempat latihan bersama dengan sesama perguruan, tetapi juga dengan perguruan lain pada sore dan malam harinya.
Meskipun demikian, ada beberapa hal yang bagi saya positif, jika saya lihat kembali ke belakang, mengapa saya bisa lolos dari puncak gairan uji coba fisik tanpa otak pada masa itu.
Ada satu realitas yang cukup menonjol pada masa itu di kalangan pelajar yang perlu dipikirkan terkait  klitih:
Memahami selera pelajar umumnya: suka adu otot daripada adu otak
Pada usia sebagai pelajar sendiri sebenarnya tidak mengerti mengapa tidak pernah takut berantem dengan sesama teman dari sekolah lain. Bahkan pernah beberapa kali berantem dengan polisi.
Kalau diperhatikan dengan baik umumnya bermula dari masalah yang sangat sederhana, entah tegal pacar yang disenggol, atau bisa saja tentang jaga nama baik sekolah, reputasi teman dan lain sebagainya.
Gengsi dan jaga reputasi diri dan sekolah sering menjadi pemicu dari klitih. Saya kira bukan saja di Yogyakarta, tetapi di seluruh pelosok tanah air ini, di mana ada beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, pasti punya potensi untuk klitih.
Pada masa itu terlihat sekali bahwa nalar waras, diskusi dan penyelesaian melalui forum musyawarah itu hampir semata-mata teori doang. Karena setiap persoalan di jalanan, di asrama pasti berujung dengan tawuran.