Dari sistem buahnya pada batang itulah, terlihat jelas sekali bahwa pohon rengga adalah pohon yang punya banyak kandungan air di dalam batangnya.Â
Oleh karena itu, tidak heran pada setiap bukunya bukannya menjadi lapuk seperti pada kayu pada umumnya, tetapi malah tumbuh bunga dan buah.
Bagi masyarakat Ende, pohon ini memang tidak diperhitungkan sebagai pohon yang penting. Hal ini karena orang tidak terlalu membutuhkannya, ya tentunya karena sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Nah, saya tidak bisa membayangkan kalau misalnya, musim kelaparan tiba, maka sudah pasti meru akan menjadi pohon idola masyarakat di desa-desa. Ya, meru bagaikan harta tersembunyi yang menyimpan cadangan makanan untuk para petani yang kelaparan.
Filosofi meru untuk kehidupan
Buah meru muncul pada batang-batang yang matang dan tua dan bukan pada dahan-dahan yang muda. Ya, bisa jadi juga sih dari pohon rengga ini orang belajar tentang filosofi kematangan dan buah yang dihasilkan seseorang.
Kata meru diketahui sebagai kata bahasa Jepang dengan hurufnya seperti "XJV" sedang kata dalam bahasa Indonesia berarti mel yang berarti memberitahukan; menyebutkan (nama, alamat, dan sebagainya); melaporkan diri.
Saya sendiri sebenarnya sangat terkejut dengan hasil penelusuran ini. Rasanya dari pohon meru itu ada sesuatu yang bermakna sekali.Â
Berangkat dari kata dan asal kata itu, bisa memunculkan pertanyaan baru lagi, apakah pohon rengga dan buah meru itu ada hubungannya dengan Jepang yang datang menjajah Indonesia? Apakah berasal dari Jepang dan orang Jepang pada masa itu membawanya ke Indonesia?
Bagi saya beberapa pertanyaan itu tetaplah misteri, namun satu hal yang pasti bahwa pohon rengga atau meru saat ini tumbuh liar di hutan Flores dan sesekali kami dapat mengambilnya jika memang membutuhkannya.
Nama dan asal kata meru telah memberikan arti yang pada saat yang sama menyeret saya pada satu gagasan lain tentang identitas. Ya, identitas itu berkaitan dengan nama, alamat yang diberitahukan kepada yang lainnya.