"Jangan berhenti melakukan riset, kalau ingin nama anak bangsa akan menjadi footnote bagi dunia."
Riset sebagai dasar untuk menopang dan memunculkan pengetahuan baru dari ilmuwan Tanah Air bukan pilihan suka-suka, jika bangsa Indonesia memang serius mau menjadi narasumber ilmu pengetahuan. Riset harusnya menjadi pilihan prioritas pendidikan di Indonesia.Â
Indonesia bukan bangsa yang hidup seperti dagelan politik "sebuah Republik Mimpi", tetapi bangsa yang gemar melakukan riset. Ya, anak-anak bangsanya adalah ilmuwan masa depan bangsa ini yang bisa mengubah stereotip bahwa catatan kaki tulisan, bukan lagi semuanya nama orang asing, tetapi nama ilmuwan Indonesia.Â
Pertanyaannya, mengapa diskursus terkait riset itu bukan saja soal level kesejahteraan ilmuwan dan apresiasi negara, tetapi soal pilihan prioritas pendidikan? Ini ada beberapa alasannya:
1. Riset itu merujuk pada pengakuan martabat bangsa
Saya punya keyakinan bahwa bangsa yang gemar melakukan riset adalah bangsa yang punya taraf keilmuan yang tinggi. Sebaliknya tingkat intelektualitas suatu bangsa itu akan tidak diperhitungkan, jika anak bangsanya sama sekali tidak punya gairah untuk melakukan riset dan gemar menulis.
Riset sebenarnya bukan saja soal karena tawaran dan janji pemerintah yang menggiurkan, tetapi mesti juga muncul dari kegemaran atau daya dorong dari dalam diri anak bangsa yang ingin memiliki ilmu yang pantas menjadi rujukan umum banyak orang.
Tanpa rasa ingin tahu yang memotivasi periset, maka tetap saja hemat saya tidak maksimal dalam pelaksanaanya. Kemauan tulus dari anak bangsa ini untuk melakukan riset tentu merupakan modal besar yang mesti didukung terkait kesejahteraan dan apresiasi negara.
Kemauan tulus anak bangsa itu mesti disupport dengan perspektif positif yang lebih besar seperti riset itu sebagai solusi untuk memperoleh pengakuan (Anerkennung) martabat bangsa di mata dunia. Sebuah pengakuan yang bergengsi tentu tidak hanya dalam bidang olahraga, tetapi lebih-lebih dalam kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan.
Pengalaman pertama melakukan riset pada tahun 2006 membuka wawasan bahwa riset itu bukan saja berurusan dengan berapa dana proposal yang dikabulkan institusi pendukung penelitian, tetapi lebih-lebih karena kemauan pribadi yang kuat yang terdorong oleh rasa ingin tahu yang berkobar-kobar.