Pada tahun 1980-an sewaktu masa-masa sekolah dasar, saya tidak pernah menemukan satu orang pun yang menggunakan payung yang dibeli dari pasar.
Musim hujan tidak akan bisa mengurung niat untuk meraih ilmu. Kami harus tetap pergi ke sekolah meski hujan deras. Nah, payung kami adalah daun-daun sukun (wunu tere).Â
Daun sukun itu sendiri lumayan besar bisa sampai setengah meter panjangnya dengan diameter kira-kira 40-50 cm.
Ya, ukuran payung kecil pelindung kepala sudah bisa sangat nyaman. Daun sukun paling sering digunakan anak-anak sekolah pada masa itu. Hujan lebat bagaimana pun, tidak bisa menembus daun sukun, oleh karena daun sukun punya ketebalan kira-kira 3 mm.
Saya masih ingat bahwa ibarat payung kuning kemerah-merahan berjejer pada jalan berliku menuju ke Sekolah atau kembali dari sekolah dengan berjalan kaki 7 km menggunakan payung alam kami "daun sukun."
Daun sukun sudah menjadi daun kenangan, yang bagi saya layak ditulis untuk mengatakan kepada generasi sekarang ini, bahwa perubahan dan kemajuan ini telah membawa kita jauh dari masa lalu yang begitu dekat dan akrab dengan alam sekitarnya.
Saya tidak yakin bahwa generasi milenial ini punya kenangan tentang kekunoan yang menciptakan tegangan kontras dengan kekinian.Â
Dari kesadaran itulah, saya bersyukur bahwa saya diberi waktu untuk mengalami masa dulu dan masa sekarang yang sungguh berbeda.Â
Oleh karena itu, tanpa disadari bahwa pada masa itu, daun sukun punya peran tak terkatakan dalam mendukung proses pendidikan anak-anak desa. Tanpa daun sukun itu, bisa saja saya tidak sampai di Jerman dan mengenal nama Regenschirm.Â
Cerita dan perjuangan anak-anak Desa untuk menikmati pendidikan memang tidak bisa pisah dari hubungan yang erat dengan alam dan lingkungan hidup mereka sendiri.
Orang-orang tua di kampungku sering mengatakan ini: "Wunu tere tau rumu uzu, moo mae petu" atau daun sukun untuk menutup kepalamu, supaya kamu tidak sakit."Â