Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dialog Imajiner Bersama Jordi, Penderita HIV/AIDS

11 Desember 2021   05:09 Diperbarui: 11 Desember 2021   05:20 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog imajiner bersama Jordi, penderita HIV/AIDS | Dokumen diambil dari: krebsinformationsdienst.de

Cintailah kehidupan lebih dari segala kenikmatan apapun.

Tema tentang HIV /AIDS merupakan tema penting untuk dibicarakan bukan hanya karena HIV/AIDS itu sangat berbahaya, tetapi juga karena berkaitan dengan keselamatan manusia itu sendiri.

Tema tentang HIV/AIDS selalu mengingatkan saya akan suatu hari di tahun 2008 dalam suatu perjumpaan dengan seorang teman Jordi (bukan nama sebenarnya) yang terkena HIV/AIDS di kota Bajawa.

Perjumpaan itu meninggalkan kesan begitu kuat tentang HIV/AIDS sebagai satu jenis penyakit yang berbahaya. Bahkan kehadirannya juga dirahasiakan. Saya tidak tahu kenapa harus seperti itu.

Malam itu saya bersama seorang teman datang mengunjunginya. Ia terkena HIV/AIDS saat ia kuliah di kota Bandung beberapa tahun. Ya, pergaulan bebas singkat kata telah menjadikan punya nasib malang seperti itu.

Tentu hal itu tidak hanya menjadikannya sangat menderita, tetapi juga orang tua dan kaum keluarganya juga sangat terpukul. Pertanyaannya: Apa yang nyata bisa dilihat dari pasien HIV/AIDS dan bagaimana kejamnya HIV/AIDS.

Berikut ini ada beberapa kenyataan terkait pasien HIV/AIDS:

1. Isolasi sosial yang ekstrim

Saking takutnya kami tidak bisa duduk mendekatinya. Rasanya waktu itu persis seperti situasi covid19 saat ini, kita harus menjaga jarak. Demikian pula saat itu, kami hanya bisa mendengar ceritanya dari jarak sekitar tiga meter.

Sangat jelas bahwa HIV/AIDS akan mengisolasi penderita bukan saja secara fisik, tetapi juga secara psikis. Belum lagi, omongan masyarakat terkait HIV/AIDS yang selalu buruk.

Masyarakat biasa selalu punya konsep sederhana bahwa HIV/AIDS itu diperoleh melalui hubungan seksual. Ya, biasa namanya juga masyarakat awam yang sangat jarang bergaul dengan dunia informasi dan komunikasi.

Maklumlah pada tahun itu belum banyak orang pakai HP di Flores. Artinya, konsep apa saja yang mereka dengar tentang HIV/AIDS selalu itu yang dipercaya. Padahal HIV/AIDS tidak hanya melalui hubungan seksual, tetapi juga melalui hal-hal lainnya.

Isolasi sosial itu bisa dengan tujuan untuk menghindari tekanan psikis pada pasien dan kaum keluarganya, ya sedikit untuk meredam omongan yang bukan-bukan dari masyarakat sekitar.

2. Warna kulit berubah jadi bersisik, hitam dan gatal-gatal

Saat melihat keadaan Jordi saat itu, saya merasakan bagaimana hebat penderitaannya. Malam hari ia susah tidur. Siang hari ia harus menggaruk-garukan badannya.

Kulit tubuhnya jadi kering dan bersisik. Bahkan tiada hari tanpa ada rasa yang aneh seperti ada penyakit baru lagi. HIV/AIDS memang paling berbahaya menyerang sistem imun tubuh, sehingga pasien HIV/AIDS sangat rentan pada semua penyakit.

Itulah kenyataan yang sungguh menyedihkan dari Jordi. Sudah disembunyikan, lalu menderita setiap harinya. Berat badan terus menurun, kondisi tulang-tulang jadi keropos, bahkan rambut pun rontok.

Nafsu makan sama sekali tidak ada, terasa lemas, malas dan ya tidak berdaya dan tidak bergairah. HIV/AIDS memang benar-benar sadis, tak peduli apa yang diharapkan seseorang tentang hidup.

HIV/AIDS sudah pasti memotong hidup setiap orang tanpa kompromi, tanpa ampun dan maaf sedikitpun. Ya, setan yang menakutkan karena sangat mematikan.

3. Tubuh menjadi sarana eksperimen aneka macam obat

Semua orang sudah tahu bahwa HIV/AIDS sampai saat ini belum ada obatnya. Meskipun demikian, sebagian besar orang yang terkena HIV/AIDS tidak mau menyerah. 

Berjuang untuk hidup itu yang dilakukan oleh orangtua dan semua keluarga Jordi saat itu. Keluarga membeli obat-obatan, ramuan dan aneka saran dari siapa saja diterima dan dicoba.

Siapa sih yang bisa tahan kalau sehari cuma berurusan dengan obat? Manalagi keadaan fisik sudah lemah, harus pula mengkonsumsi bermacam-macam obat yang pahit.

Apapun kemungkinan itu dicoba dengan satu harapan semoga Jordi bisa sembuh lagi. Jordi rupanya punya harapan besar untuk mengalami kesembuhan.

Jordi setiap hari tidak pernah menolak tawaran obat dan jenis terapi lainnya. Di satu sisi memang ia tampak sudah tidak berdaya, namun pada sisi lainnya masih terlihat ada setitik harapan bahwa ia akan sembuh.

Jordi berjuang dan terus berjuang sampai kulit dan wajahnya menjadi begitu pucat dan keabu-abuan; ya ia sungguh tidak berdaya. Titik kecil harapan dan ruang optimisnya menjadi hampa, ketika hari demi hari selama tiga tahun tidak menunjukkan perubahan.

Perjuangan panjang hampir serupa siksaan pada dirinya atas nama perjuangan untuk meraih hidup, namun semua sia-sia. HIV/AIDS memang tidak peduli pada seberapa besar harapan, perjuangan dan kekuatan optimis dalam diri manusia.

HIV/AIDS seakan punya naluri bunuh manusia yang paling kejam di dunia. Sekali kena, maka kematian seperti sudah di ambang pintu. 

Jordi adalah pria yang cerdas. Itu cuma kenangan bahwa kecerdasan itu kadang tidak bisa menolong mengatasi HIV/AIDS. Jordi punya keluarga yang berada, namun itu juga cuma kenangan bahwa betapa mampu seseorang, tetap saja tidak akan bisa menolong mengatasi HIV/AIDS dari diri Jordi.

Mengenang Jordi sama dengan mengatakan waspada terhadap HIV/AIDS

Tulisan ini  berangkat dari kisah nyata.  Ya, suatu kenyataan hidup yang berada persis antara taruhan hidup dan harapan hidup.  Saya hanya percaya pelukisan sederhana melalui tulisan ini merupakan juga satu titipan pesan tentang cinta kehidupan dari sang Jordi yang sudah tiada.

Pesan cinta kehidupan untuk siapa saja dan di mana saja. Ingat bahwa HIV/AIDS tidak akan peduli pada seberapa besar perjuanganmu, tidak akan ambil pusing dengan niat tobat dan kanjang doa tiada henti.

HIV/AIDS seakan hanya memberikan satu sinyal positif bahwa kematian itu sudah dekat dan bersiap-siaplah untuk menyongsongnya dengan pasrah. Tubuh, raga, tulang akan keropos dan berubah kusut dan menjadi tua setiap harinya.

Dialog imajiner bersama Jordi

Jordi,... mungkin itu saja yang bisa saya kisahkan lagi dari perjumpaan kita tahun 2008; ya suatu perjumpaan pertama dan terakhir tanpa pesan suara yang engkau tinggalkan.

Melalui coretan harian ini, saya lukiskan isi hatimu yang ingin berteriak  cintailah hidup dan kalahkanlah keinginan-keinginan yang menjerumuskan diri ke dalam jurang jahat dan mematikan itu. Jorgi katakan sesuatu untuk kami.

"Waspadalah HIV/AIDS telah mengusung ku pergi sebelum aku sendiri ingin pergi. Ia telah menolak harapanku, ia menolak kerinduanku, ia menolak rasa ingin bersama keluarga dan teman-teman.

Ia telah menjebloskan aku ke dunia yang dijauhkan dari lingkup pergaulan normal dan biasanya. Aku telah menjadi yang terburuk dan terpuruk. Terdepak seharian dalam kamar sunyi, menatap kulit wajahku sendiri yang kusut dan mati rasa.

Ia telah memotong usiaku dengan sengaja dari hari ke hari. Aku sadar hidup itu seperti hanya terpaksa berjalan kepada akhir yang belum saatnya aku inginkan.

Ia memaksaku tanpa ada tawaran dan pilihan. Ia tidak kenal rayuan dan sogokan. Ia benar-benar tidak manusiawi. Ia telah menyeretku ke liang kubur dengan bisu tanpa protes apapun.

Ia mungkin lebih tepat disebut sebagai pembunuh berdarah dingin yang paling kejam di bumi ini. Ia sekarang ada di mana-mana. Hadirnya hampir tidak bisa dibendung lagi. 

Jadi, tolonglah....Siapa saja yang membaca ini, camkanlah dengan baik! Doakanlah aku...... Jordi"

Terima kasih Jordi surat cintamu yang bisa kutulis kembali setelah melalui momen dialog imajiner kita hari ini. Semoga Jordi bahagia di surga abadi. 

Demikian pesan fiksi dari Jordi penderita HIV/AIDS tahun 2008 itu. Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi siapa saja untuk waspada dan membangkitkan kesadaran supaya semakin mencintai kehidupan.

Salam berbagi, ino, 11.12.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun