Dialog imajiner bersama Jordi
Jordi,... mungkin itu saja yang bisa saya kisahkan lagi dari perjumpaan kita tahun 2008; ya suatu perjumpaan pertama dan terakhir tanpa pesan suara yang engkau tinggalkan.
Melalui coretan harian ini, saya lukiskan isi hatimu yang ingin berteriak  cintailah hidup dan kalahkanlah keinginan-keinginan yang menjerumuskan diri ke dalam jurang jahat dan mematikan itu. Jorgi katakan sesuatu untuk kami.
"Waspadalah HIV/AIDS telah mengusung ku pergi sebelum aku sendiri ingin pergi. Ia telah menolak harapanku, ia menolak kerinduanku, ia menolak rasa ingin bersama keluarga dan teman-teman.
Ia telah menjebloskan aku ke dunia yang dijauhkan dari lingkup pergaulan normal dan biasanya. Aku telah menjadi yang terburuk dan terpuruk. Terdepak seharian dalam kamar sunyi, menatap kulit wajahku sendiri yang kusut dan mati rasa.
Ia telah memotong usiaku dengan sengaja dari hari ke hari. Aku sadar hidup itu seperti hanya terpaksa berjalan kepada akhir yang belum saatnya aku inginkan.
Ia memaksaku tanpa ada tawaran dan pilihan. Ia tidak kenal rayuan dan sogokan. Ia benar-benar tidak manusiawi. Ia telah menyeretku ke liang kubur dengan bisu tanpa protes apapun.
Ia mungkin lebih tepat disebut sebagai pembunuh berdarah dingin yang paling kejam di bumi ini. Ia sekarang ada di mana-mana. Hadirnya hampir tidak bisa dibendung lagi.Â
Jadi, tolonglah....Siapa saja yang membaca ini, camkanlah dengan baik! Doakanlah aku...... Jordi"
Terima kasih Jordi surat cintamu yang bisa kutulis kembali setelah melalui momen dialog imajiner kita hari ini. Semoga Jordi bahagia di surga abadi.Â
Demikian pesan fiksi dari Jordi penderita HIV/AIDS tahun 2008 itu. Semoga tulisan ini bisa menjadi motivasi bagi siapa saja untuk waspada dan membangkitkan kesadaran supaya semakin mencintai kehidupan.
Salam berbagi, ino, 11.12.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H