Budaya manusia saat ini adalah budaya keterbukaan pada sesuatu yang baru dengan standar keamanan dan keselamatan sebagai yang paling penting.
Virus bisa mengubah dan bahkan juga bisa mengobrak-abrik kemapanan manusia dalam semua bidang kehidupan. Mungkinkah dalam situasi pandemi ini orang belajar hidup secara fleksibel atau gaya hidup apa yang cocok untuk situasi saat ini?
Tidak jarang setiap berita tentang perubahan situasi itu orang-orang spontan meletup dengan makian. Cuma sayangnya kepada siapa dan salah siapa?
Semua orang tentu tidak suka dengan keadaan pandemi yang semakin memburuk. Rasa tidak suka ini sebenarnya berangkat dari kerinduan untuk memperoleh kembali kebebasan hidup.
Hidup secara bebas tanpa pembatasan ini dan itu, sudah sangat dirindukan oleh sebagian orang saat ini. Pertanyaannya, mengapa orang merindukan hidup normal seperti sebelum adanya pandemi?
Hidup normal pada masa sebelum pandemi berarti hidup dalam keterbukaan wajah
Hidup dalam keterbukaan wajah itu sangat penting untuk orang Jerman, tentu sih bagi sebagian orang yang hidup dalam pengaruh budaya wajah tertutup bisa saja menganggap biasa. Namun, kenyataan yang ada sejak pandemi ini, semua orang hampir sudah punya kebiasaan baru yakni menutup sebagian wajah dengan masker pada hidung dan mulut.
Nah, jangan lupa di musim gugur dengan suhu sekitar 1-6 Celsius ini, sebagian besar orang mengenakan topi dingin. Nah, coba bayangkan, sudah punya masker, lalu ada lagi topi dingin.
Persisnya orang hanya punya mata yang bisa dilihat oleh orang lain. Meskipun demikian menarik juga sih, kalau dilihat dengan lebih santai (locker).Â
Gaya hidup produksi Covid-19 adalah "Mata Terbuka." Apakah keadaan ini secara spiritual bisa merujuk pada gagasan bahwa orang perlu melihat lebih dalam sebelum berbicara dan mencium?
Apakah mungkin melalui situasi pandemi ini orang diajak untuk menutup wajahnya yang selalu merindukan kebebasan dan cukup membiarkan matanya saja yang terbuka?