Nah, saya jadi ingat suatu saat saya bersama orang-orang di kampung mengadakan kunjungan bersama ke suatu tempat bersejarah yang secara lokal dikenal oleh semua warga suku Paumere.
Dalam perjalanan itulah saya menemukan satu objek yang sudah sering diceritakan, namun belum pernah menemukannya. Objek yang saya rindukan itulah namanya Kaka watu.
Kaka watu dalam bahasa Ende berarti "yang lengket pada batu." Ya, tempat tumbuhnya saja sudah unik. Ia tumbuh di atas batu, dengan cara menempel begitu saja secara alamiah.
Kaka watu memiliki struktur daun bundar dengan satu sisi dekat tangkai sedikit melengkung. Bentuknya mirip seperti gambar "love" dalam ujaran anak-anak milenial.
Kaka watu bisa ditemukan dengan aneka warna. Ada yang terlihat warna merah pudar, lalu ada juga yang terlihat hijau dan sedikit kekuning-kuningan.Â
Pada daun Kaka watu terlihat seperti ada serat yang mengalir ke pusat pada bagian tangkai. Daun Kaka watu terasa punya kandungan air. Bisa jadi itulah alasannya mengapa Kaka watu bisa bertahan hidup di atas batu.
Daun Kaka watu memiliki diameter sekitar 5-7 cm, dengan ketebalan daun sekitar 2 mm. Hidup berdampingan dengan lumut-lumut yang lengket pada batu.Â
Nah, Kaka watu adalah jenis bumbu alam yang dipakai untuk menghadirkan cita rasa asam pada masakan aneka daging.
Tempat tumbuh Kaka watu selalu pada daerah yang lembab. Daerah pesisir kali merupakan wilayah yang paling sering ditemukan Kaka watu.Â
Pada cadas-cadas di pesisir kali itulah tumbuh Kaka watu. Oleh karena tempat tumbuhnya yang unik itu, maka terkadang juga sangat sulit untuk bisa mengambilnya. Meskipun demikian, ada juga yang tumbuh pada cadas yang bisa diambil dengan mudah.
Paling enak bumbu Kaka watu dimasak bukan dengan menggunakan bahan periuk besi atau aluminium lainnya, tetapi dengan menggunakan bambu. Nah, di sana juga ada kebiasaan memasak daging dengan menggunakan bambu.Â