Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Chicken Parenting" dan Tantangan Pengasuhan Anak-anak Indonesia

9 November 2021   16:15 Diperbarui: 11 November 2021   20:20 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah-langkah bijak bisa ditempuh dari konfrontasi kritis dengan fenomena lain di tempat lain.

Anak adalah kebanggaan orang tua, bahkan anak yang sukses adalah kewibawaan orang tua. Demikianlah kurang lebih kalau dicermati kesan populer orang tua umumnya tentang anak mereka sendiri. 

Tentu sedikit berbeda dengan konteks Eropa yang sebagian besar pasangan lebih memilih pelihara anak anjing daripada punya anak. Anak bagi mereka bukan sekedar punya anak, tetapi harus punya rencana yang jelas kapan mau punya anak dan bagaimana masa depannya.

Anak bagi mereka dan sebagian besar orang tidak terlepas dari konsep tentang tanggung jawab dan masa depannya. Mungkin cuma di negara-negara berkembang yang tanpa terlalu pikir panjang bagaimana nasib anak-anak mereka nanti.

Bahkan ada ungkapan "Banyak anak, banyak pula rezekinya." Prinsip seperti itu benar-benar sudah terkubur lama di Eropa. Umumnya di kalangan orang tua yang menghendaki punya anak, anak mereka maksimal 3 orang.

Praktisnya saya cukup sering berjumpa dengan keluarga Jerman yang punya anak satu sampai dua orang. Nah, anak-anak Eropa terlihat lebih siap meraih masa depan yang lebih baik, mungkin karena latar belakang kehidupan umumnya. Konteks negara maju telah menjadikan mereka sudah lebih siap untuk menempuh masa depan yang lebih baik.

Namun, saat ini rupanya tidak begitu saja seperti itu lagi, ada fenomena yang dikenal dengan sebutan "chicken Parenting." Ya, fenomena yang terhubung dengan bagaimana "sikap pengasuhan orangtua" terhadap anak-anak mereka.

Chicken Parenting, apa itu?

Fenomena yang diberi nama "Jiwa Parenting" atau "Chicken Parenting" itu pertama dipraktekan di Cina. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan tentang budaya pengasuhan anak-anak, dimana orang tua secara obsesif terlibat aktif dalam kehidupan anak-anak mereka dengan tujuan supaya anak-anak mereka memiliki sebanyak mungkin kemampuan-kemampuan hebat.

Chicken Parenting dan tantangan pengasuhan anak Indonesia | Dokumen diambil dari: lifestyle.kompas.com
Chicken Parenting dan tantangan pengasuhan anak Indonesia | Dokumen diambil dari: lifestyle.kompas.com

Semula nama "Jiwa" tentu bukan arti kata bahasa Indonesia, tetapi kata "Jiwa" pertama kali dipakai terkait dengan proses terapi pada anak-anak dengan suntikan darah ayam. Terapi itu diyakini bisa mendorong anak-anak agar lebih punya semangat dalam belajar. Menariknya bentuk terapi itu saat ini sudah dilarang di Cina. 

Motivasi apa dibalik Chicken Parenting

Jiwa parenting atau chicken parenting sama-sama merupakan suatu tekanan psikis bagi anak-anak, khususnya di Cina. Mengapa tidak? Coba bayangkan saja, anak-anak mereka sering tidur tengah malam. Alasannya karena anak-anak harus mengikuti berbagai jenis kursus privat, seperti kursus musik, sport, kursus aneka bahasa dan lain sebagainya, belum lagi kegiatan rutin dari sekolah.

Nah, kenyataan ini mengingatkan saya beberapa tahun lalu ketika mengikuti kursus bersama di Jerman. Ada beberapa anak-anak muda dari Cina, selalu saja setiap malam berkumpul dan ribut sampai tengah malam. 

Mereka senang bermain kartu dan banyak lagi aktivitas lainnya, heran dan penasaran sih, kok bisa ya sampai tengah malam setiap hari. Rupanya mereka belajar bersama dengan cara-cara mereka yang unik seperti bagaimana cara menghafal kata-kata dan lain sebagainya.

Tekanan orang tua tentu sangat nyata begitu besar pada anak-anak mereka, bahkan bisa dikatakan jauh melampaui kemampuan anak itu sendiri. Tanpa mendobrak dan sedikit memaksa, maka anak-anak itu akan kalah bersaing dengan anak-anak lainnya. Logika itulah yang terus berkobar membara dalam hati orang tua.

Ya, harapan orang tua agar anak memiliki masa depan dan pendidikan yang lebih baik telah menjadikan tidak hanya orang begitu ekstrim keras dan disiplin pada satu sisi, tetapi juga menjadikan anak-anak mereka stres pada usia dini.

Tentu persaingan jangka panjang itu punya dampak buruk bagi kesehatan  fisik dan psikis anak. Di Cina ada sekitar 25-50 % pendapatan orang tua mereka dipakai untuk pendidikan tambahan, selain pendidikan formal di sekolah. Ya, sebagian besar untuk menyewa guru-guru privat. Bahkan di Cina saat ini, fenomena itu telah menjadi suatu bisnis multi-miliar dolar.

Bagaimana peran pemerintah Cina terkait fenomena Chicken Parenting?

Fenomena Jiwa Parenting itu sudah disadari sebagai bahaya bagi Cina sendiri. Bahayanya adalah jika sebagian besar penduduk Cina hidup dalam semangat Jiwa Parenting, maka populasi kelahiran anak semakin sedikit atau menurun drastis. Itulah kecemasan dari pemerintah Cina itu sendiri.

Rupanya bagi pemerintah Cina, lebih baik angka kelahiran itu bertambah dan mereka siap mensupport pendidikan anak-anak, daripada populasi anak-anak itu sedikit yang lebih merupakan salah satu cara pencapaian pendidikan yang lebih baik dalam kerinduan besar Jiwa Parenting.

Tidak heran Partai penguasa di sana sudah melarang Jiwa Parenting atau Chicken Parenting. Artinya negara sedang berjuang memperbaiki  situasi itu dengan berbagai tindakan, meski tidak mudah, seperti bagaimana bisa melarang adanya les privat secara online. 

Langkah yang menarik yang dilakukan oleh pemerintah Cina adalah mendirikan dan menyediakan sarana pelatihan aneka keterampilan anak-anak dan pengembangan bakat-bakat mereka. Pertanyaan yang belum dijawab oleh pemerintah Cina sendiri adalah apakah cara pembatasan dan atau penghapusan Jiwa Parenting itu bermanfaat menjadi generasi muda Cina tetap orang yang cerdas dan memiliki aneka kemampuan?

Pada prinsipnya bahwa kecemasan terbesar orang tua di Cina adalah takut anak-anak mereka kalah bersaing dalam kompetisi lokal dan global.

Adakah Jiwa Parenting di Indonesia?

Kenyataan itu memunculkan pertanyaan spontan dalam pikiran saya, apakah fenomena itu sudah ada juga di Indonesia? Kayaknya sudah ada khususnya di kota-kota besar. Cuma mungkin alasan yang menjadi latar belakangnya berbeda, atau mungkin tidak begitu ekstrim seperti yang terjadi di Cina.

Bagaimanapun intensitas ekstrim atau tidak, tetap saja fenomena itu merupakan hal yang menarik untuk dilihat lebih dekat lagi ke dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Secara positif bisa saja menjadi refleksi dengan pertanyaan, berapa persentase keuangan yang disiapkan orang tua untuk pendidikan ekstra untuk anak-anak? 

Saya belum yakin bahwa di Indonesia sudah menyiapkan dana sampai 25% untuk pendidikan ekstra anak-anak mereka di rumah. Sekurang-kurangnya wilayah luar dari Jakarta sangat mungkin masih dengan gaya yang lama, "anak sekolah minta uang, lalu orang tua baru mencari uang." 

Tentu berbeda dengan konteks para pegawai yang selalu punya uang, sehingga setiap bulan sudah bisa menyisihkan uang untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka. Meskipun demikian, kira-kira berapa persen uang yang disiapkan untuk pendidikan ekstra anak-anak, tetap saja menjadi pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan.

Saya yakin fenomena Chicken Parenting dalam artinya yang ekstrim seperti di Cina itu belum ada di Indonesia, namun orang tua yang memikirkan anak-anak mereka supaya memiliki kemampuan lebih itu sudah cukup banyak. Alasannya tentu berbeda dengan di Cina, di Indonesia mungkin lebih dipengaruhi oleh tuntutan untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik, tentu bukan lebih menonjol karena persaingan orangtua atau gengsi orang tua.

Dari kenyataan fenomena Jiwa Parenting di Cina, orang sudah bisa membayangkan bagaimana target hidup anak-anak di Cina dan betapa panasnya hawa kompetisi sosial di sana. Bisa juga dibayangkan berapa banyak anak-anak yang terkena dampaknya, ya anak-anak yang terkena gangguan psikis (Psychische Stoerung).

Terkait gangguan psikis rupanya di Indonesia punya alasan yang berbeda, anak-anak Indonesia bisa juga terganggu secara psikis bukan karena padatnya kegiatan ekstra yang muncul dari keinginan orang tua, tetapi muncul dari guru-guru di sekolah melalui berbagai kegiatan online atau bahkan muncul dari anak-anak itu sendiri.

Di Indonesia rupanya berbanding terbalik dari yang terjadi di Cina. Kalau di Cina Jiwa Parenting, maka di Indonesia mungkin Jiwa Teaching. Coba perhatikan anak-anak Indonesia saat ini sampai tengah malam sibuk dengan tiktok untuk mengajarkan sesuatu kepada publik, yang isinya tidak tahu baik apa enggak.

Bagaimana peran pemerintah terkait motivasi pendidikan anak-anak?

Motivasi pendidikan anak-anak Indonesia bukan saja merupakan tanggung jawab utama pemerintah, tetapi juga orangtua dan guru-guru di sekolah. Pemerintah, orang tua dan guru mungkin perlu memikirkan bagaimana menjadikan anak-anak Indonesia mampu bersaing secara global tanpa terkena sakit psikis. 

Tentu, les privat, kursus online sangat berguna bagi masa depan anak-anak, yang penting dengan porsi yang wajar dan terukur sambil mempertimbangkan aspek kesehatan anak. Partisipasi orang tua dalam hal ini bukan karena tekanan kompetisi dengan orang tua lainnya, tetapi lebih karena harapan agar anak-anak memiliki masa depan yang lebih baik.

Oleh karena itu, alangkah sangat menolong jika pemerintah menyediakan paket-paket kursus yang bisa menjawab kerinduan orang tua yang belum punya kesadaran terkait pendidikan anak-anak mereka sebagai hal yang sangat penting. Sedangkan bagi orang tua lainnya yang sudah selangkah lebih siap perlu juga membuat kalkulasi anggaran rumah tangga yang menempatkan pendidikan anak dengan persentase dana ekstra yang wajar dan teratur.

Demikian guru-guru di sekolah perlu juga mempertimbangkan efek psikologis dari tekanan yang berlebihan pada anak-anak melalui jenis kursus, les online dan lain sebagainya. Sesuatu yang berlebihan selalu berdampak buruk.

Fenomena Jiwa Parenting bisa menjadi peringatan (warning) bagi orang tua di Indonesia, ya bisa positif dan bisa juga negatif. Positifnya bahwa memacu orang tua di Indonesia untuk serius memikirkan pendidikan anak-anak mereka, sampai pada alokasi dana yang besar untuk pendidikan ekstra anak di rumah. 

Negatifnya bahwa tuntutan berlebihan khususnya di masa pandemi ini bisa jadi momok untuk kesehatan anak-anak. Apalagi metode online tanpa didukung dengan disiplin yang baik dan secara bertanggung jawab dari guru dan orang tua.

Catatan kritis tentang fenomena Jiwa Parenting

Seorang finalis penghargaan buku Nasional 2015 di USA, Karen E. Bender mengungkapkan pengalaman yang menarik untuk dijadikan bahan pertimbangan terkait pengasuhan anak. Menurutnya pengasuhan anak-anak itu tidak lain adalah soal hubungan dan pemisahan, kematian dan waktu. Hubungan itulah yang menyadarkannya bahwa tindakan kecil apapun akan sangat menyentuh anak-anak secara mendalam.

Selain itu, ia mengakui bahwa pengasuhan anak itu merupakan aktivitas yang paling lucu dalam budaya Amerika. Ya, sekurang-kurang merupakan saat yang dalam, indah, tetapi juga rumit. 

Di sana di satu sisi dibutuhkan cinta dan perhatikan yang sangat besar dari orang tua, tetapi pada sisi yang lain, sejak anak dilahirkan, ia memiliki keinginannya sendiri yang kadang rumit dan susah dimengerti oleh orang tua.

Pilihan yang bertanggung jawab untuk mengasuh dan menyiapkan masa depan anak-anak tidak lain merupakan opsi yang secara terukur mempertimbangkan hubungan tidak terpisahkan antara kebebasan anak-anak itu sendiri, kesehatan psikis anak-anak dan juga terkait dengan kemampuan keuangan serta harapan orang tua.

Demikian ulasan terkait Jiwa Parenting atau Chicken Parenting di Cina yang bisa juga mencemaskan kesehatan anak-anak saat ini khususnya di Indonesia, tetapi pada sisi yang lain memotivasi pemerintah, orang tua dan guru di Indonesia agar secara kritis melihat peluang dan tantangan kedepannya. Persaingan global ada di depan mata yang berhadapan langsung dengan potensi buruknya kesehatan psikis anak, ketika begitu besarnya tekanan orang tua. Langkah-langkah bijak bisa ditempuh dari konfrontasi kritis dengan fenomena lain di tempat lain. 

Salam berbagi, ino, 9.11.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun