2. Perhatikan kata-kata apa yang paling sering diucapkannya
Intensitas seseorang menggunakan kata yang sama bisa menjadi indikasi dengan beberapa kemungkinan: pertama, seseorang itu menyukai kata itu karena bersentuhan dengan pengalaman hidupnya, bisa karena kecewa atau juga karena hal yang menyenangkan.Â
Kedua, pengucapan kata yang sama dalam kurung waktu yang singkat bisa menjadi suatu cara mewariskan kata kepada pendengar hingga sampai pada tingkat identifikasi diri dengan pengucapnya.Â
Saya masih ingat saat saya berjumpa dengan seorang ibu yang berusia 103 tahun. Perjumpaan pertama cuma dalam waktu satu jam, namun berapa sering kata yang sama itu telah diucapkannya.Â
Maaf mengucapkan kata yang sama bukan karena ia tidak waras, tetapi kata itu telah menjadi bagian hidupnya. Setiap dia mendengar cerita saya, jawabnya selalu, "terima kasih."Â
Ya, terima kasih selalu diucapkannya berulang-ulang, hingga saya menjadi sadar dan bertanya kenapa ia mengucapkan kata "terima kasih begitu sering seperti itu?" Kunjungan dan perjumpaan pertama rupanya menjadi alasannya untuk mengucapkan terima kasih berulang-ulang.Â
Dalam suatu kesempatan lain, saya spontan berjumpa dengan seorang lainnya yang adalah teman dari ibu yang telah berusia 103 tahun itu. Nah, katanya pada saya, "Oh ibu itu terkenal dengan nama ibu terima kasih."
Dalam hati saya langsung merasakan pesan yang begitu kuat seakan-akan seperti ini:
"kamu harus hati-hati ya dalam menggunakan kata-kata saat kamu menulis. Pakailah kata-kata positif sesering mungkin supaya dirimu identik dengan kata itu. Ampun deh, saya jadi was was dengan kata. Kata itu hidup. Kata itu awal. Kata itu bisa menjadi diriku."
3. Perhatikan cerita tentang masa lalunya
Masa lalu yang sering diceritakan itu ternyata ada dua. Pertama, masa lalu yang menyenangkannya. Kedua, masa lalu yang mengecewakannya.Â
Dari rangkaian perjumpaan yang saya alami, tampak bahwa lebih banyak orang bercerita tentang masa lalu mereka yang menyenangkan. Masa lalu seperti itu mudah dikenang karena begitu membekas.Â