Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mungkinkah Rumah Adat Menjadi Museum Nasional-Tradisional?

12 Oktober 2021   03:12 Diperbarui: 13 Oktober 2021   08:04 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arahkan matamu tidak hanya kepada bangunan megah museum nasional kita, tetapi juga kepada rumah adat tua yang masih dijaga dan dirawat karena kandungan peradaban dan warisan di dalamnya.

Sorotan tema pilihan Kompasiana tentang "Hari Museum Nasional" menyisakan seperti satu kedipan ide dari kelopak mata masyarakat adat yang enggan sekali mengalami seperti apa museum itu sendiri. Bisa saja ide yang datang begitu cepat itu menjadi sebuah gagasan yang menggugat nalar untuk terus berpikir lebih jauh lagi.

Tulisan ini hanya mewakili pikiran sederhana masyarakat adat yang jauh dari pesona museum nasional. Masyarakat adat yang hidup di pedesaan hampir tidak pernah punya kesempatan untuk menyaksikan seperti apa museum nasional di tanah air.

Bahkan dalam konteks lokal saja pun, belum semua orang bisa mengunjungi museum yang ada di daerahnya sendiri. Sebagai contoh berapa masyarakat adat Ende yang pernah mengunjungi situs rumah kediaman Bung Karno di kota Ende?

Tentu ada juga, namun hampir bisa dipastikan cuma sedikit saja yang tertarik dan punya kesempatan untuk mengunjungi museum itu. Nah, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini:

Siapa yang tertarik mengunjungi museum di tingkat Kabupaten?

Terasa ada arus cara berpikir yang aneh, seakan-akan museum di tempat sendiri hanya layak dikunjungi oleh orang lain atau lebih diprioritaskan kepada orang asing. Entahlah karena merasa museum itu hanya untuk orang asing? Aneh bukan?

Benar-benar aneh, karena kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat tidak punya ketertarikan untuk mengunjungi museum. Oleh karena tidak punya ketertarikan, maka mereka sama sekali tidak punya rencana untuk mengunjungi museum.

Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah mengapa masyarakat tidak tertarik? Saya yakin bahwa sebuah museum di mana saja bisa sangat menarik atau sama sekali tidak menarik tergantung pihak-pihak yang berurusan dengan museum itu sendiri.

Seberapa sering ranah promosi museum itu digencarkan dan apa yang unik dari museum itu rupanya terlalu disembunyikan atau bahkan sama sekali dilupakan. Inilah percikan keprihatinan yang muncul ketika merefleksikan kembali museum seperti situs Bung Karno di kota Ende, Flores, NTT.

Berangkat dari keprihatinan itu, maka terpikirkan di sini hubungan museum dengan rumah adat dalam konteks masyarakat adat. Sederhananya bahwa museum di tingkat kabupaten lebih tampak sebagai museum mati, yang terlalu sepi pengunjungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun